MAKALAH USHUL FIQH AL-IJMA
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ adalah salah
satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah
dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits) Ia merupakan dalil pertama setelah
Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’.
Apabila terjadi
suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu
terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka
kesepkatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu
hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat
Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW,
karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali
hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat
hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan
itu tidak akan terwujud keculi dari beberapa orang.
BAB II
AL-IJMA’ DAN
PROBLEMATIKANYA
A. Pengertian Al-Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian,[1] yaitu :
1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
Artinya :
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu
:
Artinya :
$£Jn=sù (#qç7yds ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br&
çnqè=yèøgs
Îû ÏMt6»uxî Éb=ègø:$#
4
“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur
(lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
2. Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati
untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
(#þqãèÏHødr'sù
öNä.{�øBr&
öNä.uä!%x.uà°ur ÇÐÊÈ
Artinya:
“ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
Artinya :
“ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam
harinya.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya[2] :
a. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah
kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa
setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b. Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah
syara’.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf, ijma’ menurut istilah ulama
ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin diantara umat islam pada suatu masa
setelah kewafatan Rasulullah SAW. atas hukum syar’I mengenai suatu kejadian
atau kasus. Prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasanya ijma’ itu adalah
kesepakatan para mujtahid dalam dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah
SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan
bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam,
termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa
berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena
pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW.
sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[3]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid yang ada di dunia islam terhadap hukum syara’ dari suatu
kejadian atau peristiwa pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Syarat dan Rukun
Ijma’
Berdasarkan definisi
ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi
empat macam kriteria di bawah ini[4] :
1. Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa,
karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat,
yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2. Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai
suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka,
kebangsaannya atau kelompoknya.
3. Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing
mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk ucapan (qauli),
misalnya dengan memberikan fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk
perbuatan (Fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian.
Atau penampilan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah
dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.
4. Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.
Seandainya pada sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah
terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu
sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak berarti masih terdapat pula
kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak
lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara
pasti dan apalagi dikukuhkan.
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Menmbahkan syarat terbentuknya ijma’ yaitu
sebagai berikut :
1. Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan
sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari
hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut
dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid
sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat AL-Wadih dalam
kitabIsbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal
aqdi.
Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat
terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa
tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan
ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan
ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
2. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl
al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang
mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu
dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad
SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau ber-ijma’
untuk melakukan suatu kesalahan.
3. Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup,
Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah
seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pendapatanya.
d. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah
SAW.
B. Macam-macam Al-Ijma’
Macam-macam ijma’
jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1. Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara
jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap
mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas
tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini
merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut
madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau
ijma’ haqiqi.
2. Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh
para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak
pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah
memenuhi beberapa kriteria berikut :
a. Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang
dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan
ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan
oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka
hasil pendapatnya.
c. Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan
ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan
permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil
qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang
kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.[5]
Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu
sebagai berikut :
1. Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha mengemukakan : tidak memasukkan ijma’
sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka beralasan bahwa orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang
yang berpendapat. Oleh karena itu, jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti
diam itu dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang
mujtahid yang belum tentu menerima pendapat tersebut.
Selain itu diam juga tidak dianggap sebagai setuju, karena dimungkinkan
banyak faktor yang membuatnya diam. Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia
setuju, mungkin di belum berijtihad dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah
berijtihad tapi belum mendapatkan hasil yang mantap dan banyak juga
kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Dengan demikian, diam tidak dapat dipandang sebagai hujjah untuk menerima
pendapat seorang mujtahid.
2. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat : memasukkan ijma’sukuti dalam
kategori ijma’. Hanya saja kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat
dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung atau berfikir. Selain itu, pada
umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada suatu
masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti besar
memberikan fatwa, sedang ulama yang lain menerimanya.
3. Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak
termasuk dalam kategori ijma’. Ulama yang berpendapat demikian, mereka
beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak memenuhi kriteria ijma’, tidak
setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan tetapi dapat dijadikan hujjah,
karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju, dibanding
sikap menentang.
Jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat
dibagi kepada :
1. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’
itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain
bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang telah ditetakan berbeda dengan
hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
2. Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’
itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau
dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula
beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya
atau orang-orang yang melaksanakannya.[6] Ijma’-ijma’
itu adalah :
a. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang
dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b. Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang
dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. Tentu
saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.
c. Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang
dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d. Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang
dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli
madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e. Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang
dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah
sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’
bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah
agama tanpa sandaran adalah ttidak sah. Sandaran ijma’ yang berupa dalil
Al-Quran seperti firman Allah SWT. Surat An-Nisa ayat 23 :
ôMtBÌh�ãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$#
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ�9$#
àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB
ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù
yy$oYã_
öNà6øn=tæ
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB
öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs?
ú÷üt/
Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$#
tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
C. Kedudukan dan Status Al-Ijma’ dalam Ajaran Islam
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hukum kalau yang
menjadi dasar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Hal ini terdapat dalam firman
Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ�9$# Í<'ré&ur Í�öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrã�sù n<Î) «!$# ÉAqߧ�9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur Ì�ÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×ö�yz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :
“ Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya)….” (QS. An-Nisa : 59)
Para ulama yang menenapkan bahwa ijma’ itu hujjah, menetapkan pula bahwa
ijma’ tersebut terletak dibawah derajat kitabullah dan sunnah Rasul an ijma’
itu tidak boleh menyalahi nash yang qath’I (kitabullah dan hadits masyhur).
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai hujjah ijma’ ialah nilai dhanni
bukan qath’i. Karena nilai hujjah ijma’ adalah dhanni, menurut pandangan
kebanyakan ulama, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah atau dipegangi dalam
urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad. Mengingat dalam urusan I’tikad
haruslah ditetapkan oleh dalil yang bernulai qath’i.
Menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah, jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma’
dapat dijadikan hujjah (argumentasi), berdasarkan dua dalil berikut :
1. Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat
dalam kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut
Allah juga baik. Oleh karena itu amal perbuatan para sahabat yang telah
disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
2. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 115
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ�9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB
tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uö�xî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB
4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·�ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Artinya :
“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin. Kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami
masukkan ia kedalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. An-Nisa : 115)
D. Cara Penggunaannya
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal
dari dalil yang qath’I, yaitu Al-Quran, Sunnah Mutawatir serta bisa juga
berdasarkan dalil dhanni, seperti hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah,
syi’ah, dan ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus
dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’I. Suatu dalil
yang qath’I, tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping itu,
seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada
qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai
landasan ijma”. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang
tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak pula ditolakmoleh nash, tetapi
didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada maslahah mursalah, dengan
syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka ijma pun bisa berubah. Alasan
mereka adalah para ahli fiqh madinah ber[endapat bahwa penetapan harga
(al-taksir al-jabari) hukumnya bleh, sedangkan para sahabat sebelumnya tidak
memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ini adalah maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan
kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau
sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah.
Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh Mesir, mengatakan bahwa ijma yang
didasarkan kepada maslahah mursalah tidak brsifat tetap dan abadi, tetapi bisa
berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika
terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan
ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’
yang mempunyai sandaran qath’I seperti ayat Al-Qur’an atau Sunnah yang
mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau qiyas
masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhurul fuqaha
memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang
diqiaskan dengan daging babi,dan wajib membuang minyak lampu yang didalamnya
terdapat bangkai tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rahmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Umam, Chaerul dkk. 1998. Ushul Fiqh I. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Umar, Muin dkk. 1985. Ushul Fiqh I. Jakarta : Departemen Agama.
Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.
[4] Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh.
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Hal : 63-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar