Senin, 15 Desember 2014

Sistem Perkembangan Perbankan Syariah_Makalah

Sistem Perkembangan Perbankan Syariah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbankan Syariah di Indonesia
Yang Diampu Oleh:
Faisal Abdul Haris



Disusun oleh:
Siti solikhah                                        I000 090 001
Khotijah Munawwaroh                      I000 090 002
Prapti Kustina                                                I000 090 012
Fitra Zuli Taufan Jasa                                   I000 090 010
Fathurrohman Husen                         I000 090 016


JURUSAN SYARIAH FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2011

Pendahuluan
Pengertian Bank Islam (Islamic Bank) Secara umum adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Perbankan Indonesia diatur dalam Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (disingkat UUPI), sehingga berdasarkan kegiatan usahanya bank dibedakan menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.[1]
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba untuk membahas lebih dalam lagi tentang sejarah munculnya sistem perbankan Syari’ah atau perbankan islam berikut dengan pembentukan dan perkembangan perbankan syari’ah di berbagai negara. Pembahasan yang terakhir pada makalah ini akan kami lampirkan tentang sejarah Perbankan syari’ah di Indonesia beserta perkembanganya baik dari aspek legalitasnya, aturan-aturan di dalamnya serta perkembanganya. Semoga dalam pemaparan makalah yang kami tulis ini mampu mengantarkan kepada pemahaman seputar sejarah dan perkembangan perbankan syari’ah baik di Indonesia ataupun di berbagai lainya.

Pembahasan
A.     Sejarah kelahiran sistem perbankan syariah
Banyak sejarah mencatat bahwa kelahiran sistem perbankan syari’ah yang mempunyai landasan tujuan bahwa Agama Islam melarang untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan istilah riba, selain itu Islam juga melarang melakukan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram. Berdasarkan landasan ini maka muncullah usaha untuk membentuk suatu sistem perbangkan yang dikembangkan berdasarkan syari’ah (hukum) Islam yang di tandai dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern yaitu neorevivalis dan modernis sehingga lahirlah Perbankan Syariah atau Perbangkan Islam, dimana sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin hal ini. Maka pada tahun 1963 Mesir menjadi negara yang pertama kali memunculkan Perbankan Syari’ah tanpa menggunakan embel-embel islam. Hal ini dilakukan karena adanaya kekhawatiran rezim yang bekuasa pada saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamintalis. Perintisan usaha ini dipimpin oleh Ahmad El Najjar dengan membentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan pada saat itu sudah berdiri Sembilan bank dengan konsep serupa. Bank-bank ini tidak memungut ataupun menerima bunga dan sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industry secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

B.      Pembentukan bank-bank syariah
Pada tahun 1971 di Mesir mendirikan Nasir Social bank dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Di belahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
  1. Perkembangan bank-bank syariah di berbagai negara
Fungsi-fungsi bank sudah dipraktikkan oleh para sahabat di zaman Nabi SAW, yakni menerima simpanan uang, memberikan pembiayaan, dan jasa transfer uang. Namun, biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.
Fungsi ini terus berlanjud hingga masa modern, sehingga muncul suatu usaha untuk mendirikan bank tanpa bunga, hal ini pertama kali dilakukan oleh negara Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, namun usaha tersebut tidak berhasil. Berikutnya, eksperimen dilakukan di Pakistan pada akhir 1950-an. Namun, eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Kesuksesan Mit Ghamr memberi inspirasi bagi umat Muslim di seluruh dunia, sehingga muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasi dalam bisnis modern. Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya Islamic Development Bank (IDB, atau Bank Pembangunan Islam) pada tahun 1975, yang berpusat di Jeddah. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank, ADB) ini dibentuk oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Pada era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam sudah menyebar ke banyak negara. Misalnya, Dubai Islamic Bank (1975) dan Kuwait Finance House (1977) di Timur Tengah. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran, dan Sudan, bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara tersebut menjadi nur-bung, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Kini perbankan syariah sudah menyebar ke berbagai negara, bahkan negara-negara Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, tepatnya Denmark, tahun 1983. Di Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal dasawarsa 1980-an, dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983. Dari berbagai perkembangan laporan tentang bank Islam ini, ternyata bahwa operasional perbankan Islam hanya dikendalikan oleh tiga prinsip dasar yaitu ;
1.      Penghapusan suatu Bunga dalam segala bentuk transaksi.
2.      Melakukan segala aktivitas bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan perusahaan industri.
3.      Memberikan suatu pelayanan sosial yang tercermin dalam penggunaan dana dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.

Perkembangan lebih lanjud bank-bank syari’ah di berbagai negara tampak pada pada negara-negara berikut:
1)      Pakistan : Pada bulan Juli 1970 Pakistan menyatakan diri bahwa sistem bunga dihapus di 3 institusi yaitu : National Investmen, House Building Finance Co. & Mutual Funds of the Investment Co. of Pakistan. Awal 1985, seluruh sistem perbankan di Pakistan dikonversi menjadi Sistem Perbankan Syariah.
2)       Mesir : Pada bulan Maret 1978 Mulai mengroperasikan Faisal Islamic Bank. Diikuti dengan Islamic International Bank for Investment and Development.
3)       Syprus : Pada bulan Maret 1983 mulai beroperasi Faisal Islamic Bank of Kibris & mendirikan Faisal Islamic Investment Co.
4)       Kuwait : Tahun 1977,  beroperasi Kuwait Finance House.
5)      Bahrain : Merupakan off-shore banking heaven terbesar di Timur Tengah.  Salah satu bank beroperasi disini yaitu Citi Islamic Bank of Bahrain (anak perusahaan Citi Corp. N.A), Faisal Islamic Bank of Bahrain & Al-Barakah Bank.
6)      Uni Emirat Arab : Tahun 1975, berdiri Dubai Islamic Bank beroperasi pada bidang perumahan, proyek industri & aktivitas sosial.
7)      Malaysia : Tahun 1983,  beroperasi Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB), merupakan bank syariah pertama. Tahun 1999 beroperasi Bank Bumi Putera Muamalah.
8)      Iran : Bermula saat revolusi Islam Iran tahun 1979, namun sejak tahun 1983 dikeluarkan UU Perbankan Islam yang mewajibkan bank yang beropeasi harus berdaarkan syariah.[2]
D.     Perkembangan bank syariah di Indonesia
a.       Latar belakang
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI.
Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung. Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.[3]
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
1.      Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2.      Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
b.      Era Reformasi
Perkembangan pada era ini ditandai oleh berlakunya Undang-undang yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
1.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :
1.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah.[4]
Kesimpulan

Dari pemaparan makalah di atas maka pemakalah mengambil kesimpulan sebagaimana berikut, bahwa:

1.      Kelahirannya perbankan syariah ini dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance islam modern, yakni neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan ini sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.      Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekita tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pd tahun 1963 di Kairo, Mesir. Setelah itu mulailah berkembang bank-bank di berbagai negara yang menggunakan sistem perbankan syariah seperti di negara Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Malaysia, Iran dan juga Indonesia.
3.      Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.
4.      Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Refrensi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar