MAKALAH
Sejarah Hukum Islam
Hukum Islam Pada Masa
Tabi’in
Dosen Pengampu : Nurul Huda, M.Ag.
Oleh :
Muhammad Nasrudin I000130017
Fakultas Agama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sejak
awal diturunkan telah mengalami pertentangan hebat dari para kaum Quraisy waktu
itu. Banyak hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek moyang kaum Quraisy
yang dianggap menyimpang oleh Islam. Hak manusia, kepercayaan, ekonomi, muamalah.
Semuanya diterapkan dengan aturan baru sesuai dengan ajaran Islam. Seiring
dengan berlalunya waktu, lambat laun Islam menjadi mayoritas dan telah merubah
tatanan kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah serta daerah lain waktu itu.
Pada awal turunnya sampai wafatnya Rasulullah semua hukum masih bersumber dari
Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah (Hadist). Segala permasalahan selalu dibawa
kepada Rasulullah untuk diselesaikan.
Sepeninggalan
Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum muslimin, tempat untuk bertanya segala
permasalah telah wafat, maka salah satu cara yang dilakukan adalah dibukanya
pintu ijtihad, dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Hadis)
sebagai landasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tabi’in
Kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah orang yang bertemu
sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Setelah masa kholifah ke empat
berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara historis, masa Tabi’in
merupakan masa yang dipenuhi permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam
yang semakain luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.
B. Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in
Dalam melakukan ijtiihad, para
ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para sahabat,
meliputi :
1. Al - Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara
umum. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al - Qur’an tidak bersifat rinci,
pada dasarnya ketentuan al - Qur’an merupakan kaidah - kaidah umum.
2. Sunnah intinya adalah ajaran - ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat
ucapannya, tindakannya, atau persetujuannya.
3. Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan
hukum syarak). Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka
berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat
dalilnya.
4. Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al -
Qur’an dan Sunnah sehingga mencakup kasus serupa yang tidak
disebutkan dalam teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan. Untuk
sahnya dilakukan qiyas, harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a) Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam al - Qur’an atau
hadist.
b) Adanya ketentuan hukum kasus pokok
c) Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d) Adanya ’illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus
bersangkutan.
5. Disamping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan
Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka
menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak
mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan
dalam ijtihad.
Setelah masa khalifah berakhir,
fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani
Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750 M, dan selebihnya dipegang oleh Bani
Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah ini menjadi perhatian kepada ilmu pengetahuan
memuncak. Periode ini, merupakan periode keemasan bagi pembentukan hukum
(fiqih) Islam, yang kemudian berkembang dan menghasilkan kekayaan hukum (fiqih)
Islam.
C. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Hukum Islam
Perkembangan hukum Islam ditandai
dengan munculnya aliran - aliran politik yang secara implisist mendorong
terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor - faktor yang mempengaruhi hukum islam adalah sebagai berikut:
a) Perluasan wilayah, kekuasaan Islam telah luas. Hingga ke
berbagai daerah yang mempunyai kebiasaan, muamalat dan kemaslahatan yang
berbeda. Batas daerah kekuasaan Islam memanjang ke Timur sampai Cina, dan Barat
sampai ke Andalusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong
perkembangan hukum Islam karena semakin luas wilayah, maka akan semakin luas
pula persoalan hukum yang harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan
daerah - daerah lain membutuhkan undang - undang untuk mengatur
masyarakatnya. Karena itu, diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan
fatwa- fatwa untuk pedoman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para
ulama mencurahkan perhatiannya menggali sumber - sumber syari’at (al - Qur’an dan
hadist). Mereka mengembangkan hukum - hukum yang diperlukan oleh Negara dan
kemaslahatan umat, dari nash - nash syari’st (al - Qur’an dan hadist). Mereka
juga menciptakan metode - metode penetapan hukum untuk menyelesaikan persoalan -
persoalan yang dimungkinkan akan terjadi.
b) Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist dan
aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak menggunakan
riwayat dan sangat hati - hati dalam penggunaan ra’yu. Sedangkan, aliran ra’yu
adalah golongan yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan
hadist. Kemunculan dua aliran semakin mendorong
perkembangan hukum Islam pada saat itu.
c) Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin
mengamalkan ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar - benar sesuai dengan
al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu baik secara kelompok maupun perseorangan,
mereka selalu merujuk kepada ahli - ahli ilmu dan hukum, untuk meminta fatwa -
fatwa sesuai dengan al - Qur’an dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan kepala
- kepala pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat kepada para mufti dan
ulama - ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai persoalan - persoalan
yang mereka hadapi.
d) Pada masa ini telah timbul penemuan - penemuan teori
atau konsep - konsep hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat mereka berada,
untuk mengembangkan penemuan - penemuan teori atau konsep - konsep hukum yang
telah mereka miliki.
Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum
Islam. lahirnya mazhab - mazhab dalam hukum Islam :
1. Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an - Nu’man bin Tsabit,
berasal dari keturunan Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan hukum
Islam di bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar pemikirannya, berpijak
pada kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu Hanifah) bencana paling besar
menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan terhadap kemerdekaan. Seluruh
hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada pendirian bahwa kemerdekaan
wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan terhadap kemerdekaan, lebih
ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya. Contohnya, usia nikah
bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang
diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya, lebih ringan
bencananya daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki - laki yang tidak
dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa
hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain. Sehingga seseorang dapat
menghormati kemerdekaan orang lain dan mempertahankan kemerdekaannya sendiri
dengan cara tidak merusak atau melanggar kemaslahatan atau kemerdekaan orang
lain.
2. Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas
al - Asybahi al - ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir di Madinah tahun 93 H (713
M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan menjadikannya sebagai
pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar pengambilan hukum sehubungan
dengan masalah yang tidak ada nas al - Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan boleh
atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering menggunakan konsep tentang
sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang mendatangkan hal yang halal
adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram.
Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat menghilangkan harga asli
yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan perantara terjadinya riba.
Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram dan penguasa wajib
melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya harus menjadi
perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk melakukan riba
dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar.
Syari’at, menurut Imam Malik
berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan menjauhkan dari sesuatu
yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang
menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat akibatnya.
3. Mazhab
Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin
Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i asy - Syafi’i, berasal dari
keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M). Imam Syafi’i membangun
struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar hukum yang disusun secara
sistematif, yaitu: al - Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’. Menurutnya, konsepsi
hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum esesinya adalah
religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan hukum islam
melebihi kekuatan hukum - hukum ciptaan manusia. Karena memiliki dasar dan
sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun dalam al -
Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang terhimpun
dalam hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum
Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi sebagai metode penalaran yang
bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari suatu proses hingga sebuah
kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau disamakan dengan proses
tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut ’illah. Metode
Qiyas dalam pandangan Syafi’i, menurut Abdul Wahhab Khallaf bahwa dapat
diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai suatu kejadian dan
’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara - cara yang telah ditentukan
untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama seperti
’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan dengan
kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam suatu
kejadian. Contoh, dalam al - Qur’an Surat Al - Maidah ayat 90 terdapat larangan
minum khamar. Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang dibuat dari
bahan lainnya, seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam
hal ini perlu diteliti illat hukumnya (sebab larangan minuman keras itu), ialah
karena memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur
memabukkan itu terdapat pada semua minuman keras. Karena itu, dengan metode
qiyas, sejenis minuman keras diharamkan.
4. Mazhab
Hambali
Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah
Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan
hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat dalam al - Qur’an , Sunnah dan
pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas kecuali
jika tidak menemukan nash dalam al - Qur’an, Sunnah atau pendapat ulama salaf.
Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah dan hudud (sanksi
pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah dan Nabi Muhammad, yang merupakan
tiang agama, karena ia melihat berbagai kegiatan bid’ah yang mewarnai kehidupan
umat manusia, padahal perbuatan itu keluar dari batasan agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Khallaf,
Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam.
Mun’im A.
Sirry.1996.Sejarah Fiqih Islam.Risalah Gusti.Surabaya.1995
Prof.
Muhammad Daud Ali.1990.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam
Di Indonesia.Rajawali pers.2001
Prof.
Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab.2008.Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya
di Indonesia.Kreasi Total Media.2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar