KATA PENGANTAR
Puji Serta Syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga
makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini di buat berdasarkan
tugas mata kuliah Studi Sejarah Hukum Islam. Berisi tentang Sejarah Hukum
Islam. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu teman-teman dalam
mencari informasi tentang pemikiran hukum islam.
Dalam kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Nurul Huda, M.Ag, yang telah membimbing
kami, serta kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa belum
sempurnanya makalah ini, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik serta
saran dari para pembaca
Surakarta, 22 November 2014
Penulis
Muhammad Nasrudin
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia, tidak akan pernah lepas yang namanya
ikatan hukum. Baik hukum yang bersumber dari Tuhan, ataupun hukum yang dibuat
oleh manusia yang meliputi hukum adat, Negara, dan lain sebagainya. Dan hukum
itu akan tetap mengikat selama hayat masih di kandung badan dan sebelum dunia
ini hancu-lebur pada hari kiamat.
Ketika kita berbicara tentang hukum, tentunya juga kita akan
berbicara bagaimana implikasinya. Yang jelas, hukum diciptakan adalah untuk
membuat suasana damai, dan untuk mencegah adanya tindakan-tindakan yang tidak
mengindahkan nilai—entah iu nilai etika-estetika, nilai secara logika, ataupun
nilai secara faham teologis (agama).
Dalam perkembangannya, sejarah Hukum Islam tidak bisa kita pungkiri
lagi pasang surutnya. Mulai dari hukum islam pada masa rosul hingga mencapai
masa keemasan dan munculah pergeseran yang mengakibatkan kemunduran hukum
islam. Dalam sejarahnya Hukum Islam Mulai Bangkit kembali ke-eksistensiannya
yaitu yang akan kita bahas di pembahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Sejarah Pemikiran Hukum Islam pada masa
kebangkitan?
C. Tujuan
Mengetahui Sejarah hukum Islam pada masa kebangkitan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama terakhir untuk menyempurnakan
agama-agama yang dibawa para nabi terdahulu. Islam sejak awal diturunkan telah
mengalami pertentangan hebat dari para kaum Quraisy waktu itu. Banyak
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nenek moyang kaum Quraisy yang dianggap
menyimpang oleh Islam. Hak manusia, kepercayaan, ekonomi, muamalah. Semuanya
diterapkan dengan aturan baru sesuai dengan ajaran Islam. Seiring dengan
berlalunya waktu, lambat laun Islam menjadi mayoritas dan telah merubah tatanan
kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah serta daerah lain waktu itu. Pada awal
turunnya sampai wafatnya Rasulullah semua hukum masih bersumber dari Allah
(Al-Qur’an) dan Rasulullah (Hadist). Segala permasalahan selalu dibawa kepada
Rasulullah untuk diselesaikan.
Sepeninggalan Rasulullah mulai dirasakan oleh kaum
muslimin, tempat untuk bertanya segala permasalah telah wafat, maka salah satu
cara yang dilakukan adalah dibukanya pintu ijtihad, dengan menjadikan Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah (Hadis) sebagai landasan.
Adapun alasan mereka untuk memegangi ijtihad adalah:
1. Mereka mencontoh perbuatan Nabi, yaitu mempergunakan
ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun kepadanya.
2. Percakapan yang pernah terjadi ketika Rasulullah
mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri Yaman.
3. Apa yang mereka pahami dari penyebutan illat (alasan)
pada sebagai hukum dalam nas al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tujuan dari
penetapan hukum tersebut ialah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia.
Dan manakala kemaslahatan menghendaki perturan, umat Islam wajib berusaha
menyusun peraturan yang bisa merealisasikan kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti dari
kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada sumber
perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya, sebagaimana
yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran dan Sunah, mereka
tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat
seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan
pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti
upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga
dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan
kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti
kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta
rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau
membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di
samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian
zakat.
Pada pemerintahan Bani Ummayyah pemikiran hukum Islam
terus berkembang seiring dengan banyaknya permsalahan yang dihadapi. Dan
terjadi peningkatakan kreativitas fiqih, hal ini disebabkan beberapa faktor
yaitu.
1. Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah
2. Meluasnya periwayatan hadits
3. Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqh dan ilmu
syari’at
4. Munculnya beberapa aliran fiqh.
Kondisi dan perkembangan Hukum Islam berlanjut pada
masa Daulah Bani Abasiyah waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya, hal
tersebut ditandai dengan, diantaranya:
1. Fiqih Islam pada masa Daulah Bani Abasiyah sedang
mencapai puncak kejayaan karna adanya penghargaan dari khalifah.
2. Kebebasan berpendapat, perbedaan social budaya adat
istiadat melahirkan madzhab-madzhab dalam hukum Islam.
3. Pemikiran-pemikiran Madzhab dari periode inilah yang
masih diikuti oleh Umat Islam sampai sekarang, contohnya mayoritas umat Islam
di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i.
Pada pemerintahan bani Abbasiyah dibuat aturan-aturan
ijtihad, disusunnya Ushul Fiqh dan barulah hasil ijtihad itu menjadi sangat
nyata karena dalam periode ini fiqh itu dibukukan. Dalam periode ini pula para
mujtahidin mulai memperluas hukum dan membuat macam-macam masalah yang
direka-reka dan muncul berbagai mazhab dan golongan-golongan serta timpulnya
perselisihan yang hebat dan luas.
Setelah mengalami periode kejayaan. Hukum Islam pada
akhirnya mengalami masa kemunduran yaitu berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai
abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid
karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk
ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali,
dll. Adapun faktor penyebab taqlid adalah :
1. Pembukuan kitab madzhab
2. Fanatisme madzhab
3. Jabatan hakim
4. Ditutupnya pintu ijtihad
Setelah mengalami masa kegelapan, akhirnya pada abad
ke 19 atau ke 13 Hijriah Hukum Islam mulai bangkit yaitu dimulai sejak abad ke
13 masehi, hal tersebut ditandai dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang
terus berkembang sampai sekarang.
Pada makalah ini pemakalah akan memaparkan
perkembangan hukum Islam pada masa kebangkitan setelah mengalami kemunduran.
B. Pemikiran Hukum Islam pada masa
kebangkitan
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang
disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah
ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan
Islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan
yang universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer
dan lain sebagainya di dunia Islam.
Menurut Dr. Rarrouq, keharusan kebangkitan fiqih bukan
sekedar kebutuhan sejarah tetapi bahkan kebutuhan fiqih itu sendiri. Ini
berarti, mengabaikan fiqih dari perkembangannya sama artinya dengan
mengabaikannya dalam kehancuran. Karena perkembangan merupakan kebutuhan dari
keberadaan dirinya.Seperti itu pula yang kita lihat dalam era kejumudan dan
kebekuan fiqih. Fiqih tidak mampu lagi memberikan jawaban – jawaban atas
kebutuhan dan permasalahan – permasalahan baru yang muncul dalam dunia Islam,
bahkan yang lebih tragis, ia mengalami kristalisasi sebagai akibat hancurnya
bangunan masyarakat Islam.
Diantara fuqaha yang diidentikkan bermazhab kepada
mazhab hambali, muncullah ahmad ibnu taimiyah dan muridnya, ibnu qayyim al
jauziyah. Dia berdiri sebagai hamzah washol diantara masa terdahulu dengan masa
sesudahnya.Mereka memerangi fhurufat dan bid’ah serta menganjurkan pemahaman
syari’at dengan memakai pikiran, penalaran, dan akal sehat. Mereka adalah
penerus ahmad ibnu hanbali yang mengatakan bahwa pintu ijtihad itu terus
berlaku hingga hari kiamat. Mereka kembali pada mazhab salaf al – shalih yang
berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah Rasul. Ibnu Qayyim al- jauziyah memerangi
taqlid buta dari kejumudan serta mempertajam berijtihad.
Meskipun semua sepakat bahwa kebekuan fiqih itu telah
melahirkan realitas baru dalam alam pikir Islam berupa krisis pemikiran dan
krisis hukum, namun terjadu perbedaan yang cukup tajam dalam usaha menemukan
penyelesaiannya. Perbedaan tersebut kemudian berkembang dalam wujud pemikiran
dikalangan ulama’ dan fuqaha sejak akhir abad ke – 14 H hingga sekarang ini.
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama
yang menonjol pada saat kebangkitan ilmu fiqh, yaitu :
1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir
dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa fiqh Islam tidak lagi
mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas
kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat
keluasan informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini,
untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani
meninggalkan fiqh yang sudah ada dan membangun fiqh baru yang kontekstual.
2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun
pemikiran fiqh dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada.
Keluasan tesarwah fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan.
Hingga sampai saat ini.
3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali
kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Satu hasl yang menarik dari cita – cita pola
ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan
pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan
ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat
– pendapat para imam mazhab.
4. Neo – survivalisme, pola terakhir ini disebut neo – survivalisme, kerena
para pendukungnya selain menawarkan fiqh pengembangan juga menampakkan
concernya yang besar terhadap kepedulian social. Karenanya, dalam banyak hal,
mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan
upaya mencari relefansinya dengan persoalan – persoalan kekinian.
Karenanya dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu
pendekatan – pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari
relevansinya dengan persoalan – persoalan kekinian. Menurut pendukung pola ini,
kegagalan fuqaha selama ini dikarenakan kurang memperhatikan kebutuhan
masyarakat dalam perkembangan yang sedemikian rupa sehingga muncul kesenjangan
antara fiqih secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Untuk
yang tersebut terakhir ini mereka mengajak pada suatu pemahaman yang lebih dinamis
dan tidak kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman Tarikh
Tasyri’ dengan sosiologi hukum.
Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat
dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh Islam, kedua kodifikasi
hukum Islam.
1. Pembahasan Fiqih Islam
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ketiga belas
Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada ketika itu, kerajaan
Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan dalam
bentuk akta dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam
menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama
yaitu dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas
ini diberikan kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan
untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan
tersebut diselesaikan oleh pihak Lujnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan
tahun 1869-1876 M. Para ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam
16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik
seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada
manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah alAhkam
al-’Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan
pada zaman pemerintahan Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya
selepas kejatuhan kerajaan Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa
fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan, kafalah, hiwalah, pajak gadai,
amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan, syuf’ah, jenis-jenis
syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan kehakiman.
Pada mukadimah kitab ini, dimulakan dengan fasal
permulaan, mengandungi sejumlah kaedah-kaedahkulliyyah berjumlah 77
kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan ada
juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880
Masihi. Selepas itu terdapat undangundang lain yang digazetkan di
negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-Ahwal
al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh
Islam tanpa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan
negara pertama yang mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang
keluarga dengan nama Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang
hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun 1917. Pada tahun tersebut
diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga menggunakan prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan
beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu hukum yang sesuai dengan
kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang tersebut disebut The
Ottoman Law of Family Rights.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun
mengkaji. Sehingga fiqih Islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui
tangan para ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan
konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus. Apabila
kita ingin menuliskan beberapa indikasi kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini
dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut:
a) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian
mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan
khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini
berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber – taqlid dan qadha’, serta
memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh
Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum Al – Azhar hanya dengan
mazhab Syi’ah.
b) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih
tematik.Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab – kitab
fiqih klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
c) Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi.
Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode
ini memilki kelebihan, yakni dapat memunculkan teori – teori umum dalam fiqih
Islam dan teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan
hak yang tidak proposional serta yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil
karya ilmiah. Dalam muktamar internasional tentang perbandingan UU yang
dilaksanakan di lohre tahun 1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi
Internasional tahun 1948, para penelis menyatakan, “ Fiqih Islam memiliki nilai
perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus
dijadikan sumber perundang – undangan civil, semua prinsipnya bisa
mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain
dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa,
mudah dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya”.
d) Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan
menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman
ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negeri Islam dan
terbitnya beberapa insiklopedi fiqh.
Beberapa contoh kreativitas di bidang ini :
a) Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir
pada tahun 1961 M. lembaga ini mencakup bidang Al-Qur’an dan Sunnah, kajian
fiqih, khazanah Islam, dan kajian social.
b) Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator
Kementrian Waqaf Mesir. Ini bertugas menyebarkan buku – buku warisan ulama’
terdahulu, dan karya ilmiah pakar ilmu fiqih dan ilmu lain.
c) Ensiklopedi fiqih di Kuwait, yang bertujuan agar
Negara Kuwait mempunyai saham dalam kemajuan fiqih bersama Negara lain. Lembaga
ini berhasil menyusun kajian fiqih secara tematik .
d) Ensiklopedi fiqih di Mesir, dibawah kordinasi Kantor
Pusat Urusan Agama. Dalam ensiklopedi ini para penulis membubuhkan
pendapat fuqaha’ secara amanah dan terperinci serta tidak
terbatas pada empat madzhab tanpa ada rasa fanatik.
Para ulama dalam menghimpun semua masalah menggunakan
metode yang sama, dengan menukil pendapat mazhab dengan lugas, ringkas tanpa
men-tarjih pendapat – pendapat tertentu.
Hari ini, kita dapat lihat terdapat banyak sekali
muktamar-muktamar nasional dan muktamar-muktamar Islam yang membicarakan
mengenai kepentingan fiqh Islam dan menggalakkan pembelajaran secara
perbandingan di antara fiqh. Ini dilaksanakan di peringkat pengajian universiti
dan peringkat tinggi di universiti Islam antarabangsa. Ramai juga sarjana
undang-undang yang membuat kajian perbandingan dengan fiqh Islam. Ada juga di
antara mereka yang menjalankan penyelidikan ilmiah secara mendalam di dalam
peringkat sarjana dan juga Ph.D di negara-negara Islam berkisar mengenai fiqh
Islam. Ia sebagai tambahan kepada kitab-kitab fiqh semasa yang semakin
berkembang di perpustakaan di seluruh dunia Islam. Kemudian, kewujudan internet
banyak membantu perkembangan fiqh Islam dengan memudahkan untuk berhubung
dengan para ulama. Ia juga memudahkan urusan untuk berijma’ dan bertukar-tukar
fikiran di antara mereka.
Penggunaan teknologi internet ini banyak membantu para
ulama di dalam mengembangkan fiqh Islam. Di atas asas inilah
universiti-universiti Islam mengambil langkah proaktif dengan mengadakan
seminar-seminar antarabangsa dengan mengfokuskan kepada hukum-hukum syariah dan
juga undang-undang yang berkaitan dengan perkara ini. Tidak ketinggalan wujud
pelbagai laman-laman web yang menumpukan kepada pengeluaran fatwa dan menjawab
segala persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan sehariannya.
Selain itu, terdapat beberapa isu-isu syariah dan
undang-undang yang bercabang-cabang yang mungkin boleh dikaji di bawah tajuk
hukum-hukum syariah berkaitan dengan internet. Sebagai contoh:
1. Hukum-hukum mengenai penjagaan dan keselamatan
maklumat-maklumat sulit dan rahsia-rahsia.
2. Hak-hak seperti hak-hak penulis dan penciptaan dan
seumpamanya.
3. Hukum-hukum mengenai penjagaan persendirian dan
rahsia-rahsia individu .
4. Laman-laman web sebagai bukti.
5. Hukum-hukum mengenai penghinaan, tuduhan qazaf, dan
makluman melalui internet.
6. Bukti-bukti pensabitan jenayah.
7. Hukum-hukum jual beli melalui internet.
2. Kodifikasi
Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah
fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.1Dan jika ada
setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini
akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua
tujuan sebagai berikut :
1. Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang
memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim
tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang telah ditetapkan
untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2. Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih
dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris moderat, W.
Montgomery bahwa bebrapa bagian dari fiqih telah disusun dalam bentuk undang –
undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup. Undang – undang yang merupakan UUD
Islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama dengan Kitabun Nabi. Kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The Constitution of Medina.
Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun 1961 di terjemahkan
kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad, dengan nama Piagam Nabi Muhammad
SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’, khalifah al – Mansur (w 163 H)
Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab
untuk dijidikan sebagai undang – undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah.
Akhirnya Imam Malik menyusun kitab al – muwattha. Usaha kearah
pengkodifikasian ini, kenudian dilanjutkan oelh ilama india pada masa Sultan
Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya dapat mengumpulkan sejumlah fatwa dan
keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang diberikan nama al –
fatwa al – Hindiyah.
C. Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih
Islam
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14
telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar
dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan
muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh yang
mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad
dan menolak taqlid, diantaranya :
1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di
desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah
orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir
anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.Muhammad
Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud
yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam
tidak menghendaki dan menerima perubahan.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan
bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada
dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik
ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat umat Islam
berhenti berpikir dan akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang berpegang
teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat
Islam dahulu.Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan
taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.Menurut
pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga
kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah
menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat:. أفلا يعقلون , أفلا
ينظرون,أفلا يتدبرون dan
sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang
rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam.Iman
seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban
suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan
memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang
menimbulkan ilmu pengetahuan.
2. Syeikh
Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin
As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam
Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M
di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan
nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai
fase kebangkitan :
a) Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada
umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b) Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang
dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad
(yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c) Dia memerangi semua bentuk syirik.
d) Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan
keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu
dalam pangkuan Islam.
e) Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada
masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah
dengan terang-terangan.
f) Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak
perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g) Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang
dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya
3. Sayyid
Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae
Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung
hal-hal berikut :
a) Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa
perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b) Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat
Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa
untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c) Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi
dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada
pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena
itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia
sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu
ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh
dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi,
Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di
Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A.
Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Para ulama –
ulama tersebut merupakan pelopor gerakan pembaharuan. Gerakan ini menyerukan
kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan ilmu – ilmu Islam, meninggalkan
taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan As – sunnah dan
mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama sebelum
masa kemunduran. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir Islam yang punya andil
besar dalam perkembangan Islam pada masa kebangkitan. Seperti Muhammad Ali
Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa
Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebangkitan fiqih dimulai dari akhir abad ketiga belas
hijriyah sampai pada hari ini. fase ini mempunyai karakter dan corak berbeda
dengan fase – fase sebelumnya. Fiqih dihadapkan pada zaman baru yang sejalan
dengan perkembangan zaman, dapat member saham dalam menentukan jawaban atas
setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli,
menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :
1. Pembahasan fiqih
Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan
pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan
lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2. Kodifikasi hukum
fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’
menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian
kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul
Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata ).
Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan fiqih Islam,
mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad
Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida,
Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal
dan Muhammad Ali Jinnah.
Daftar Pustaka
Djatnika, Rahmat Dkk, Perkembangan Ilmu
Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. 1986.
Penulis
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Agama
Islam Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran UMS
ijin serap ilmunya dari bcaannya gan,, makasih
BalasHapus