BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Syariat Qurban
merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena bequrban mulai diperintahkan
saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam
menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara
silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan
Qabil melaksanakan qurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil
berqurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berqurban dengan tanamannya
–gandum-.
Sampai disini Allah swt
sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima
perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan
udhiyahnya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan
perintah berudhiyah, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh
saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Sebenarnya istilah yang
baku bukan berqurban, tetapi menyembelih hewan udhiyah. Sebab kata “Qurban”
artinya mendekatkan diri kepada Allah. Padahal yang disunnahkan adalah
melakukan ibadah ritual yaitu menghilangkan nyawa hewan udhiyah, baik dengan
cara dzabh (menyembelih) atau nahr (menusuk leher unta dengan tombak), sebagai
bentuk ritual peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Syariat berudhiyah
dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (udhiyah), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (udhiyah), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
Peristiwa berudhiyah
paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim
Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan
Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian
berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan
hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti
akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional.
Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja yang sebenarnya pembahasan yang harus di pahami oleh Mahasiswa
mengenai Udhiyah?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mengetahui tentang Sejarah singkat Udhiyah.
2. Agar mahasiswa mengetahui pengertian dan landasan di syari’atkannya ritual
ibadah Udhiyah.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami udhiyah sebagai bagian ibadah dan
juga sebagai mu’amalah bagi ummat islam.
4. Agar menusia mengetahui dan memahami hikmah disyari’atkannya udhiyah bagi
ummat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
Berqurban merupakan
bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika
putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima
qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk.
Allah SWT berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ
نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ
أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah kepada
mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka
berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil):
“Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang
diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau
diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS.
Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah
Islam, syiar dan ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat
kehidupan.
Syariat itu kembali
diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita
sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar:
1-3.
“Sesungguhnya kami
telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah
yang terputus.”
Sebelum Allah swt
memerintahkan berudhiyah, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat
pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga
kautsar di surga.
Kalau kita mencoba
merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai
manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulia dan paling baik bentuknya, “Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(At-Tiin:4)
Nikmat menjadi peran
khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan
isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Nikmat anggota badan
yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu
ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan
“Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?”
(Adz-Dzariyat: 21)
Dan yang paling besar
anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(Al-Ma’idah: 3)(www.muslim indo.or.id)
2.2 Pengertian Udhiyah
Qurban berasal dari bahasa Arab “al-Udhiyah” (الأُضْحِية) atau “Ad-Dhohayah” (الضحية) yang artinya
qurban.
Adapun menurut istilah adalah menyembelih unta, sapi, lembu atau kambing
pada hari nahr (hari raya Iedul Adha) dan hari Tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah)
dengan tujuan taqarub kepada Allah Swt.(referensimuslim.com)
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari
Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya
tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Al-Udhiyyah adalah
bentuk tunggal dari al-adhahi. Al-Imam al-Jurjani menjelaskan, bahwa al-udhiyah
adalah nama untuk hewan kurban yang disembelih pada hari-hari nahr (Idul
Adha dan 3 hari setelahnya) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
(At-Ta’rifat 1/45)
2.3 Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban
termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anhamenceritakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.”(HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihatTaudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas
didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan
hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak
ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari
idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban
atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena
maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah.
Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih
sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 &Syarhul
Mumthi’ 7/521).
2.4Dasar Hukum Disyari’atkannya Udhiyah
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi
orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru
Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi
yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah
hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau
berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu
Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan
Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu
Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat
ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal
aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir
kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur
Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu
Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak
berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm
berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa
qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang
digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan
masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari
perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak
meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan
melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan
segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi
Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti
bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah,
berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al
Bukhari 1374 & Muslim 1010).
2.5Hewan yang Boleh Digunakan Untuk
Udhiyah
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul
Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak
boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan)
bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah
yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar
kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa
hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis
hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya
tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga
10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
2.6 Penjelasan tentang hewan yang boleh di gunakan untuk
berudhiyah
a) Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau
bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan
keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul
Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang
mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya
kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan
Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak
menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah
ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud
2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’
4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum
muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang
berqurban dari umat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk
satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya
pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya
pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu
shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan
dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah
hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada
pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan
memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
b) Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan
seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau
mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat
sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami
berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al
Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama
dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor
sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut
urunan.
c) Qurban Kerbau
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam
berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah
Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan
berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami)
maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul
Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan
dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci
penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan
sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban
dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi
maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah
sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan
kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’
Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada
penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya
sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
d) Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah
kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan
qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah
uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di
hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah
dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh
syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban
alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan.
Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh
diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti
di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
2.7Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban)
kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh
menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
|
Hewan
|
Umur minimal
|
1.
|
Onta
|
5 tahun
|
2.
|
Sapi
|
2 tahun
|
3.
|
Kambing
jawa
|
1 tahun
|
4.
|
Domba/
kambing gembel
|
6 bulan
(domba Jadza’ah) |
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’,
III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
2.8Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a.
Cacat yang menyebabkan
tidak sah untuk berqurban, ada 4(**):
- Buta
sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang
yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing
tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian
pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan
yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang
buta sebelah matanya.
- Sakit
dan tampak sekali sakitnya.
- Pincang
dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan
normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan
baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat
tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas
maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah,
II/373 &Syarhul Mumti’ 3/294).
b.
Cacat yang
menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2(***):
- Sebagian
atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya
pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c.
Cacat yang
tidak berpengaruh pada hewan
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk
qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak
lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya
tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu
a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan
apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat
cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu
Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan
bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika
menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan
termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai
qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang
memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if,
sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan
makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
2.9Hewan yang Lebih Utama untuk
Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang
gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa
yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari
ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah
menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban
yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di
Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan
kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.”
(HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas
ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian
kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan
urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih
utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai
dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/374)
2.10Larangan Bagi yang Hendak
Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan
memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari
Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila
engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan
diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian
dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk
cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau
sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala,
kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah
berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan
tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
- Dlahir
hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau
berqurban.
- Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya.
Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota
keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’
7/529)
2.11Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha
dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih
(qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun
malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al
Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan
qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat
Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan
barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia
telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/377)
2.12Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah
lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh
masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka
memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan
mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta
(qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat
manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/378)
2.13Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih
hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali
bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di
kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan
bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian
sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk
disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
2.14Tata Cara Penyembelihan
- Sebaiknya
pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
- Apabila
pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut
datang menyaksikan penyembelihannya.
- Hendaknya
memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
- Hewan
yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke
kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
- Ketika
akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar”
ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi
Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan
takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca
takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian
diikuti bacaan:
a)
hadza minka wa laka.” (HR. Abu
Dawud 2795) Atau
b)
hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an
fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
c)
Berdoa agar Allah menerima qurbannya
dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama
shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan:
Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak
menyembelih. Wallahu a’lam
.
2.15Pertanyaan-pertanyaan tentang Udhiyah
I.
Berqurban
Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga
bentuk:
- Orang yang meninggal bukan
sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya
yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan
keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal.
Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan
keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
- Berqurban
khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik
dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama
mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun
sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu
bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas
nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
- Berqurban
khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar
keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit
untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si
mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah
Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
II.
Bolehkah
Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2
alasan:
- Tidak
terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah
perbuatan bid’ah.
- Bisa
jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang
membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih,
sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’
7/492)
III.
Bolehkah Pemanfaatan
Hasil Sembelihan
- Dimakan
sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul
qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini
adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
- Disedekahkan
kepada orang yang membutuhkan
- Dihadiahkan
kepada orang yang kaya
- Disimpan
untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan
jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan
sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih
tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat
mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun
lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian,
sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun
lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan
hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh
sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana
diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali
kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul
qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
IV.
Bolehkah
Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban
kepada orang kafir,
sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir)
lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan
daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban
nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’
(Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada
kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang
wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah
memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****)
baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena
dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging
qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby
adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga
berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’
binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta
padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no.
1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan
karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan
memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang
melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan
kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke
negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir
yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di
bawah kekuasaan kaum muslimin.
V.
Bagaimana
hukum Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik
daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin
Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta
qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh
serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun
darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat
ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد
أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan
qurbannya maka ibadah qurbannya tidakada nilainya.” (HR. Al Hakim
2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat
mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat
dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
- Termasuk
memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala
dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena
hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
- Transaksi
jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang
tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit
dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana
perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban)
disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual
beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan
Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
- Bagi
orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai
keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini
sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual
kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun
shohibul qurban.
VI.
Bolehkah Mengupah
Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhubahwa
“Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi
penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta
tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak
boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan
Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang
kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas
ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang
jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas
pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan
adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau
sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam,
IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan:
“Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.”
Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah
jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban
dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri
As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah
daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual
atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada
orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan
Nabi, 69)
VII.
Menyembelih
Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan
qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena
statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil
bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan
qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena
tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang
tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka
Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari
uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab:
“TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil
Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya
sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban
sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing
untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa
dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia
qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia
qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki
jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus
dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus
qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan.
Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana
status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu
mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
VIII.
Mengirim
sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah
pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup
ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah
orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang
lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan
qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat
tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu,
seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk
tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak
(meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan
pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke
selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban
dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah
no. 2997, 29048, dan 29843 &Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini
(mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun
menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
- Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak
pernah mengajarkannya
- Hilangnya
sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
- Hilangnya
sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang
lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris
Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah
karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga
risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah
ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya
Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut
beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
2.16
Udhiyah Sebagai Ibadah dan Mu’amalah
1)
Udhiyah Sebagai Ibadah
Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt
mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya:
perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berudhiyah sebagai bukti
rasa syukur kepada-Nya.
Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berudhiyah dengan bahasa yang tegas dan
lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat
shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.
“Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang
mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berudhiyah, maka janganlah ia menghampiri
(mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Berudhiyah tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya
memotong hewan udhiyah, namun lebih dari itu, berudhiyah berarti ketundukan
total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal
yang dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu
perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan
dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.
Berudhiyah adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan
karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap
berudhiyah.
Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya,
sehingga dengan perintah berudhiyah itu, ia malah melanggar perintah Allah swt
dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah
Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah
letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?
Berudhiyah juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan
syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berudhiyah dengan ilmunya. Pengusaha ia berudhiyah dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berudhiyah demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berudhiyah untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berudhiyah dengan ilmunya. Pengusaha ia berudhiyah dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berudhiyah demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berudhiyah untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan
kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan
kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan
dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.
Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,
”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan
Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Dan berudhiyahlah. Udhiyah menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi
beban dan keterpaksaan. Karena memang udhiyah tidak sekedar memotong hewan.
Ada hikmah lain yang sangat penting di balik syariat ibadah ber-udhiyah,
yakni adanya keterkaitan yang sangat erat antara udhiyah (berqurban,
menyembelih hewan qurban) dan tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara
bahasa maupun secara makna. Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari
kata dhahha yudhahhi yang berarti berqurban dan berkorban sekaligus. Adapun
secara makna, ber-udhiyah adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi
dari ibadah qurban (ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri.
Apalagi jika kita mengingat bagaimana pada mulanya sunnah udhiyah ini harus
dilaksanakan oleh Khalilullah Ibrahim ‘alaihis-salam, dimana beliau
diperintahkan untuk berkorban dan berqurban dengan menyembelih putra tercinta
beliau, Nabi Ismail ‘alaihis-salam, meskipun akhirnya ditukar dengan sembelihan
kambing yang besar, setelah terbukti secara nyata ketaatan dan kesabaran beliau
berdua dalam memenuhi perintah Allah (lihat QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102-107).
Maka ibadah ber-udhiyah, dengan demikian, akan menanamkan dalam diri kita dan
diri setiap pequrban kecintaan dan semangat untuk selalu siap berkorban dengan
apa saja yang kita miliki di jalan jihad dan dakwah, yang merupakan syarat
untuk mencapai kemenangan Islam dan mengembalikan ’izzah (kemuliaan) serta
kekuatan kaum muslimin sebagai umat terbaik (khairu ummah). Maka marilah kita
selalu ber-udhiyah (berqurban) dan ber-tadhiyah (berkorban) agar kita dan umat
kita tidak selalu menjadi atau dijadikan korban! Ingat, kita adalah umat
pequrban dan bukan umat korban.
2)
Udhiyah Sebagai Mu’amalah
Diantarakutamaannyasebagaimanadisebutkandalamhadits ‘Aisyah,
adalahmenyembelihqurbantermasukamalsalih yang paling utama.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).
Adapun beberapa hikmah
hikmahnya adalah meneladani Nabi Ibrahim dan kepedulian sosial. SebagaimanadisebutkandalahhaditsRasulullah Saw,
sesunguhnyahariini (IdulAdha) harijamuanmakan-minumdanmengagungkan Allah Swt.
Kaitannya dalam
mu’amalah atau kehidupan sosial, maka ‘udhiyah mengendung berbagai hikmah, diantaranya:
Pertama, untuk mengenang nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim
dengan digagalkannya penyembelihan putranya, Ismail AS, yang ditebus dengan
seekor kambing dari surga.
Kedua, untuk membagi-bagikan rizqi yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat
manusia saat Hari Raya ‘Idul Adha, yang memang menjadi hari membahagiakan bagi
umat Islam, agar yang miskin juga merasakan kegembiraan seperti yang lainnya.
Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw (artinya): “Hari Raya
Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” (HR. Muslim)
Ketiga, untuk memperbanyak rizqi bagi orang yang berqurban, karena setiap hamba
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan balasan berlipat
ganda.
BAB III
P E N U T U P
3. 1
Kesimpulan
Sesuatu yang perlu
diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah), qurban
(taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan dan
perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan pendekatan
diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan maupun yang
disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah
berfirman (dalam hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku
telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku
(taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku
wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang
sunnah, maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi
pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat,
tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta,
niscaya Aku beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban (udhiyah)
adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan
sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak. Menyembelih
binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Sedangkan
berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban dengan
harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana
dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan mereka banyak
yang menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran berarti bagi umat
Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi Allah SWT dan
menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah ini harus lebih mendekatkan umat Islam
kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut
untuk memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan
bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di antara bentuk pendekatan
diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban
penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari Tasyrik.
Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini, dan yang lebih
penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.
3.2
Saran
Selain hikmah yang
terkandung dalam syariat udhiyah di atas, terdapat pelajaran lain yang dapat
kita ambil dari ibadah udhiyah ini.
1.
Secara Vertical (حَبْلٌ مِّنَ اللهِ/ hablumminallah)
Secara vertical berarti
ini menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah atas semua
nikmat yang telah diberikan kepada kita. Serta melahirkan kesadaran bahwa semua
nikmat itu merupakan karunia Allah. Selain itu, ibadah udhiyah dapat menjadi
tolok ukur ketakwaan dan keimanan seseorang.
Semakin tinggi
ketakwaan seseorang, maka semakin mudah dan semakin besar keinginannya untuk
melaksanakan syariat udhiyah. Begitu pula kebalikannya, semakin rendah
keimanan seseorang, maka semakin enggan dirinya untuk mengeluarkan hartanya
dalam rangka melaksanakan syariat udhiyah.
2.
Secara Horizontal (حَبْلٌ مِّنَ النَّاسِ / hablumminannas)
Ditinjau dari segi
horizontal maka kita akan melihat sisi hablumminannas. Bagaimana syariat
udhiyah mengajarkan kita agar memelihara rasa solidaritas dan sosial dengan
orang-orang di sekitar kita.
Ketika seseorang
menyembelih hewan qurban, maka tidak semuanya akan dimakan sendiri. Akan tetapi
sebagian dagingnya bagi diri dan keluarganya sedangkan yang lainnya akan
dibagi.
Begitu banyak hikmah
dan pelajaran dalam syariat udhiyah, tentunya sebagai seorang muslim harus
memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan syariat ini. Bahkan untuk
menghasung umatnya dalam ber-udhiyah rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang
memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali
mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih
Ibnu Majah 3114)
Begitu kerasnya
peringatan rasulullah SAW, tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk menyadarkan
mereka yang memiliki kelapangan namun enggan melaksanakan syariat ini.
Lantas, bagaimana yang
tidak memiliki kemampuan? Bagi yang belum mampu melaksanakan udhiyah, hendaknya
mulai sekarang menancapkan niat untuk ber-udhiyah tahun dengan dengan disertai
usaha keras dengan menabung sedikit demi sedikit. Semoga dengan niat ikhlas
disertai usaha keras, Allah mengabulkan niatan kita. Bukan tidak mungkin mimpi
hari ini menjadi kenyataan esok hari. Wallahu a’lam bish showab
DAFTAR PUSTAKA
Fiqhu al Sunnah, SayidSabiq, Dar al Fath, Cairo, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar