TUGAS MAKALAH AGAMA DAN ETIKA
ISLAM
DIALEKTIKA ISLAM DENGAN
BUDAYA JAWA
Disusun
oleh:
Aldiza
Nurachmad Artama 15308003
Regi
Risman Sandi 15308004
Reo
Audi 15308005
Purbaningsih 17208111
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuh.
Segala puja dan puji hanya milik
Allah SWT, Rabb semesta alam atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami selaku mahasiswa sekaligus penyusun
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Dialektika
Islam dengan Budaya Jawa”. Salawat serta salam
mudah-mudahan selalu tercurah kepada rasul kita tercinta Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.
Kami ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami khususnya kepada bapak Yedi Purwanto,
selaku dosen
mata kuliah Agama dan Etika Islam,
dimana beliau telah membimbing kami hingga karya yang kecil ini dapat diselesaikan.
Dalam makalah ini kami membahas tentang hubungan yang terjadi antara Islam dengan kebudayaan jawa. Semua ini disusun berdasarkan isi serta pemahaman kami yang
didukung oleh sumber lain tentang permasalahan tersebut.
Dalam penyusunan karya kecil ini
tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Kami sangat menyadari bahwa makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian mudah-mudahan karya yang
kecil ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya terutama
teman-teman dan pembaca sekalian. Amin. Oleh karena itu, kami sangat
membutuhkan kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.
Bandung, April 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1
Latar
Belakang................................................................................................ 1
1.2
Identifikasi
Masalah....................................................................................... 1
1.3
Maksud dan
Tujuan........................................................................................ 2
1.4
Metode Penelitian........................................................................................... 2
1.5
Kegunaan
Hasil Penelitian.............................................................................. 2
1.6
Sistematika
penulisan...................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
2.1
Islam dan Budaya........................................................................................... 4
2.1.1
Definisi Budaya............................................................................ 4
2.1.2
Budaya Menurut Islam................................................................. 5
2.2
Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa.......................................................... 7
2.2.1
Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha........................................... 7
2.2.2
Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha........................................ 8
2.2.3
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam.................................... 10
2.3
Interaksi Islam dengan Budaya Jawa........................................................... 11
2.4
Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa............................... 13
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 15
3.1
Kesimpulan................................................................................................... 15
3.2
Saran............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam studi
antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan istilah civilization
(peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara etimologis berkaitan dengan
sesembahan (cult) yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”.
Sementara, peradaban atau civilization berkaitan dengan kata “cives” yang
berarti warganegara. Apabila
budaya adalah pengaruh agama
terhadap diri manusia, maka peradaban adalah pengaruh akal pada alam.
Sistem kebudayaan terdiri atas
nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan.
Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan
kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak
langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk
kebudayaan yang bersifat materiil.
Dengan kerangka seperti ini dapat
digunakan untuk memprediksi karakteristik budaya Jawa dalam kaitannya dengan
sistem teologi Islam yang berkembang, dan melakukan interaksi timbal-balik di
dalamnya. Islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan
budaya lokal di mana Islam berada.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
kita dapat mengidentifikasi rumusan permasalahan yang akan dibahas dan
disajikan dalam laporan ini. Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai
berikut
1.
Apakah definisi budaya serta budaya menurut Islam?
2.
Bagaimana fase-fase perkembangan budaya Jawa?
3.
Bagaimana interaksi Islam dengan budaya Jawa?
4.
Bagaimana bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa?
1.3
Maksud dan Tujuan
Maksud disusunnya makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Etika Islam.
Adapun tujuan dari penyusunan karya
tulis ini adalah sebagai berikut:
1.
Menjelaskan definisi budaya dan menjelaskan budaya menurut
Islam.
2.
Mengetahui
fase-fase perkembangan budaya Jawa.
3.
Mengetahui interaksi Islam dengan budaya Jawa.
4.
Mengetahui bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa.
1.4
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
dalam penyusunan makalah ini adalah metode deskriptif, berupa studi kasus untuk mencari
gambaran dialektika Islam dengan
kebudayaan Jawa dan mempelajari kasus tersebut secara
mendalam.
Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan :
1.
melalui internet, yaitu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mencari
sumber-sumber terkait yang berhubungan dengan objek yang diteliti melalui web.
2.
studi
kepustakaan adalah pengumpulan buku-buku sumber untuk mendapatkan landsan teori
yang berkaitan dengan obyek yang diteliti sehingga dapat membandingkan teori
dengan fakta yang ada.
1.5
Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi semua pihak, yaitu:
- Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman
yang lebih mendalam, khususnya mengenai dialektika Islam dengan kebudayaan Jawa.
- Bagi Pembaca
Semoga hasil penelitian ini, dapat dijadikan bahan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang dialektika
Islam dengan kebudayaan Jawa. Dan sebagai bahan acuan
untuk penelitian lebih lanjut.
1.6
Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
1.2
Identifikasi
Masalah
1.3
Maksud dan
Tujuan
1.4
Metode
Penelitian
1.5
Kegunaan
Hasil Penelitian
1.6
Sistematika
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.5
Islam dan Budaya
2.5.1
Definisi Budaya
2.5.2
Budaya Menurut Islam
2.6
Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa
2.6.1
Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha
2.6.2
Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
2.6.3
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
2.7
Interaksi Islam dengan Budaya Jawa
2.8
Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa
BAB Iii
Penutup
3.3
Kesimpulan
3.4
Saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Islam dan Budaya
2.1.1
Definisi Budaya
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya didefinisikan sebagai pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah. Sedangkan, kebudayan dapat diartikan sebagai
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian,
dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Menurut
Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi
dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan
terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa
tingkah-laku dan tindakan. Secara
singkat dapat dijelaskan bahwa komponen wujud terbentuk dari tiga aspek, yaitu
ide, gagasan, dan tingkah laku. Adapun komponen isi
terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem
ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Ketujuh unsur ini saling berkolaborasi dalam
penyusunan terbentuknya komponen isi.
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai
budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena
itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di
mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu
akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang
bersifat materiil. Pola interaksi semacam ini dapat digambarkan dalam alur
skema interaktif sebagai berikut. Nilai Budaya à Norma à Pola Pikir à Sikap à Tindakan. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa
nilai budaya akan terbentuk dari norma yang berlaku dalam masyarakat, sementara
norma itu sendiri lahir akibat adanya pola pikir. Pola pikir yang muncul dalam
masyarakat akan membentuk sikap dan sikap akan menghasilkan tindakan atau
perbuatan.
2.1.2
Budaya Menurut Islam
Islam, agama yang sesuai dengan
fitrah semula jadi manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia untuk
mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina peradaban, dalam hal ini budaya,
bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan baik di
dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Peradaban, dalam hal ini kebudayaan, biasanya dikaitkan
dengan pembangunan atau kemajuan lahiriah (material) saja, seperti
peralatan-peralatan, permesinan, sistem transportasi dan komunikasi yang
canggih, bangunan-bangunan yang indah dan kokoh, infrastruktur yang serba
lengkap dan sebagainya.
Islam memiliki sudut pandang yang
berbeda tentang peradaban dan
kebudayaan. Islam melihatnya dari aspek rohaniah,
akaliah dan lahiriah sekaligus. Peradaban rohaniah adalah aset yang paling
penting. Manusia yang membangun dan berkemajuan, saintis dan teknolog yang
bertaqwa, itulah yang mesti diutamakan, bukan benda material hasil pembangunan
itu. Ini sesuai dengan firman Allah
SWT yaitu: “Sesungguhnya pada diri manusia itu adalah
sebaik-baik kejadian.”
Adalah salah anggapan yang
mengatakan bahawa keagungan peradaban dan kebudayaan Islam itu terletak pada keluasan
wilayah kekuasaannya, walaupun Islam pernah menguasai tiga per empat dunia.
Peradaban serta kebudayaan Islam juga bukan terletak pada bangunan-bangunannya yang tinggi,
indah, cantik, canggih dan unik, walaupun umat islam pernah membangunkan
bangunan-bangunan seperti itu yang sampai sekarang dikagumi orang Islam dan
bukan Islam.
Peradaban dan kebudayaan Islam juga
bukan terletak pada ilmu-ilmunya yang sangat luas, sains yang maju, teknologi
yang sangat canggih, walaupun ilmuwan dan teknolog Islam pernah menjadi pusat
keunggulan (center of excellence) dalam berbagai bidang sains dan teknologi
selama ratusan tahun. Peradaban dan
kebudayaan Islam juga bukan terletak pada kekayaannya
yang melimpah ruah, walaupun Islam pernah membentuk pemerintahan yang kukuh
kedudukan ekonominya dan memiliki harta yang melimpah ruah.
Tanpa Al-Quran dan
As-Sunnah pun sejarah telah membuktikan manusia mampu membangun kerajaan yang
luas, gedung-gedung yang tinggi, indah, canggih dan gagah, infrastruktur yang
modern dan menguasai sains dan teknologi yang canggih serta memiliki kekayaan. Bangsa Romawi, Persia, Yunani, Fir’aun dan Barat sekarang ini telah
membuktikannya. Tetapi ini tidak berarti mereka memiliki peradaban yang unggul
di sisi Allah SWT.
Orang bertaqwa menjadikan
kemajuan-kemajuan pembangunan material itu sebagai alat untuk kenal, cinta, takut
kepada Allh, merasakan kebesaran dan keagungan Allah serta menegakkan Islam
semata-mata. Bila Islam diletak di tempat yang tinggi, maka Allah akan
mengangkat martabat umat Islam. Bila kepakaran dan ilmu diasaskan dengan iman
dan taqwa, maka akan lahir manusia yang berbakti kepada Allah, sekaligus
berkhidmat kepada manusia dan makhluk Tuhan. Pemerintah dan rakyat bergandeng
bahu melahirkan peradaban yang tinggi.
Peradaban dan kebudayaan Islam hanya
akan tertegak bilamana tertegaknya hukum-hukum dan aturan-aturan Allah. Maka
manusia yang bertaqwalah yang paling layak untuk membangunkannya. Hakikatnya,
Rasulullah dan para sahabat ialah penegak peradaban Islam yang paling unggul
karena manusia di masa itu adalah sebaik-baik manusia. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik
manusia ialah mereka yang dikurunku, dan mereka yang mengiringi kurunku, dan
mereka yang mengiringi kurun itu.”
Bahkan Allah SWT
pun memuji mereka dalam firman-Nya: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang
diutuskan kepada manusia, menyuruh manusia mengerjakan kebaikan dan mencegah
mereka daripada melakukan kemungkaran.”
Karakter suatu
budaya dalam kaitannya dengan sistem Islam dan melakukan interaksi timbal balik
di dalamnya, dengan artian islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu
berdialog dengan budaya lokal di mana islam berada. Islam sebagai koridor aturan
terciptanya suatu budaya.
2.2
Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa
Signifikansi
pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauh
mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini penting
dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini
penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa
Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam.
2.2.1 Kebudayaan Jawa
Pra-Hindu-Budha
Data
mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha sangatlah terbatas.
Namun, ciri yang menonjol dari struktur masyarakat yang ada pada waktu itu
adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu
animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh
aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat
kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan
konservatif.
Ciri lain masyarakat Indonesia lama
adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam
masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang melahirkan
penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum
adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh
nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai
sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam
tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan
pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek-moyang
dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang
oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya
yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Keberadaan ruh
dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong atapun
sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan
bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi
sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa
ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi
juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari
kewajiban sosial.
2.2.2 Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses
perkembangan budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari
budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat
ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap
unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja
berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa
kemudian ia mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka
untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan ini pada
gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan
penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam
bahasa Jawa kuno. Karena golongan cendekiawan sendiri yang aktif dalam
penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum
bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses
Jawanisasi.
Sejak
awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk
menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka
sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau
serba memuat). Agama Hindu-Budha di
negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan
menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah
sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa
adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan
tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha
diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa
rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia
akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan.
Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton
adalah puncak peradaban pada masa itu.”
Penanaman watak teokratis dan watak supremasi
seorang raja kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu
pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan tatakrama feodal
yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta
gamelannya. Dalam cerita wayang disodorkan pula konsep Binathara dengan segala
kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.
Pada konteks
perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui
“abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang
raja mempunyai kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya
tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka
ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam
“babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya
simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.
2.2.3 Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Telah menjadi kesepakatan di kalangan
ahli sejarah bahwa Islam di Indonesia disebarkan oleh para saudagar dari bangsa
Gujarat dan Benggali. Akan tetapi,
tidak diragukan pula bahwa orang-orang Arab juga mengambil bagian penting dalam
proses pengislaman bumi nusantara ini. Orang-orang Arab telah membuat pemukiman
di berbagai daerah pantai di India dan berangsur-angsur menjadi pusat
penyebaran Islam. Kemudian para pedagang tersebut merantau ke bumi nusantara
ini dengan peran ganda di samping pedagang mereka juga muballigh.
Marcopolo sebagai duta besar Venesia untuk
menemui raja Kubilaikhan di negeri Cina, sambil menunggu cuaca baik untuk
pulang ke Venesia, mengunjungi pantai barat laut Sumatera selama lima bulan
pada tahun 1292. Marcopolo menyaksikan bahwa para penghuni bagian Perlak di
ujung pulau Sumatera telah diislamkan oleh para saudagar Sarasen. Sebaliknya,
orang-orang gunung masih menyembah berhala dan bersifat kanibal. Data historis lain menyebutkan bahwa
musafir dari Maroko, Ibnu Bathuttah, yang mengunjungi Sumatera dalam
perjalanannya menuju Cina pada tahun 1345 melaporkan bahwa ajaran Islam telah
mantap di Sumatera Pasai, dan mereka pada umumnya menganut mazhab Syafi’i.
Menurut Babad
Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh
Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para
santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam
di Jawa, tetapi mereka juga menguasai jaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan
“jaman kewalen” (jaman wali).
Perkembangan Islam di luar Jawa
relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan
budaya-budaya lain kecuali budaya Hindu-Budha, sedangkan di Jawa, Islam
menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para
penguasa/raja. Oleh karena itu,
perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.
Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar
yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang
merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang
diperhalus budaya lapis atas.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad
tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran
Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan
sepanjang pesisir yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di
pesantren.
Watak penetrasi
dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi
pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi
sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh
karena itu, datangnya Islam membawa pengharapan kepada
mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak
menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat-laun menjadi
kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi (counter hegemony) dari
kekuasaan kerajaan Hindu-Budha.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu
Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam
sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga,
berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai jaman peralihan yakni peralihan
dari jaman “kabudhan”(tradisi Hindu-Budha) ke jaman “kawalen” (wali). Peralihan
ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung jaman Hindu-Budha, namun bersifat
pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan
bentuk peralihan yang berupa “sinkretisme” antara warisan budaya
animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam.
2.3
Interaksi Islam dan budaya
Islam merupakan
konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai
tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu
poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan
kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang
akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam
konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul
simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan
tata nilai budaya.
Menurut Akbar S.
Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis
sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh
karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif
Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan
sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral
diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis
Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan
humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan
emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format
kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian
(transendental), dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut
pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun
bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
Dakwah Islam dilihat
dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dua
pendekatan, yaitu pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis.
Pendekat-an non-kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan
identitas-identitas agama, serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya
tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis
(akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai,
penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi
lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing
(cultural approach).
Tampaknya
para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik
mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi
nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat
bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para
wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui
pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali
pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang
makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
2.4.
Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa
Gambaran
dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya
sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah
Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut:
Inilah
sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis
berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan
sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus
Hindu).
Dari
kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi
timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan
masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di Jawa tidaklah
membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya.
Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan
mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.
Pementasan
wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan
Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk
membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap
sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi.
Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran
dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai
deskripsi puitis mengenai taqdir.
Dilihat
dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai
menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah
kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran
agama; sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada
tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di Jawa Tengah bagian selatan
misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok
abangan.
Setelah
kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya pada seperempat abad
kelimabelas, pada jaman ini pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh
muslim di bidang politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel
(Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin
pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses
dakwahnya melalui proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan
atau keturunan.
Dari paparan di atas,
tampak jelas karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton
sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu,
ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau
lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit.
Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab
pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu,
tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang
bercorak mistik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Proses dialektika Islam dengan budaya
lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan
sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya
berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya
lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu
yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan
nilai fundamental dari ajaran agama. Masyarakat
Jawa jauh sebelum datang agama yang berketuhanan seperti Hindu-Budha maupun
Islam telah memiliki kepercayaan metafisik atau kekuatan di luar dirinya yang
termanifestasikan dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah agama-agama tersebut datang, masyarakat Jawa terlibat dalam
proses akulturasi bahkan sinkretisasi agama dan budaya, dengan dimensi dan
muatan agama dan budaya Jawa sendiri.
Islam sebagai salah satu agama yang hadir di Jawa juga terlibat dalam
pergumulan dengan budaya lokal Jawa, dan oleh karenanya tampilan Islam di Jawa
mempunyai karekteristik yang berbeda dengan tampilan di daerah lain. Fenomena ini lahir tidak lepas dari proses islamisasi yang dilakukan
oleh para wali dengan menggunakan pendekatan yang memungkinkan terjadinya
dialektika antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa saja
dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Berbagai tampilan dari ekspresi keagamaan di tengah-tengah
masyarakat muslim Jawa dalam berbagai bentuknya adalah bukti nyata adanya
dialektika Islam dengan budaya Jawa khususnya pada aspek formal dari budaya,
sedangkan aspek material diubah dengan semangat/ajaran Islam.
3.2
Saran
Dengan makalah ini kami berharap kita senantiasa menjaga, menjunjung tinggi, serta
mewarisi budaya Islam terutama budaya sehari-hari tanpa melanggar
ketentuan-ketentuan yang berlaku, tidak keluar dari norma-norma yang ada
terutama norma Islam, dan budaya yang sudah ada tidak luntur karena adanya
budaya baru dari luar sana sehingga anak serta cucu-cucu kita tetap merasakan
budaya leluhur yang penuh akan nilai-nila kebaikan. Lestarikan budaya kita
karena budaya adalah cerminan pemersatu masyarakat dari individu-individu yang
beragam.
DAFTAR PUSTAKA
- Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta : Balai
Pustaka.
- Effendi, DR. Ing.
Abdurrahman Riesdam & DR. Ing. Gina Puspita. 2007. Membangun
Sains & Teknologi Menurut Kehendak Tuhan. Jakarta : Giliran Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar