Senin, 15 Desember 2014

Kpnsep Maqam dan Hal

Makalah
Konsep Maqâm dan Hâl
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Drs. Suharjiyanto M.Ag

Disusun oleh :
DWI SATRIANI BEGI MAWINDI
I.000.113.032

PROGRAM STUDI SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


PENDAHULUAN
Maqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan.
Ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.
Pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.
Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha.[4]
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha.
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.

PEMBAHASAN
Pengertian Maqam dan Hal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kalbu merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.
Al-hal seperti yang difahami oleh ahli tasawuf ialah pengalaman rohaniyyah yang berlaku di dalam hati tanpa disengaja atau dibuat-buat, dicari-cari dan diusahakan. Pengalaman rohaniyyah tersebut akan hilang apabila berbagai sifat diri zahir dengan nyata. Keadaan pengalaman rohaniyyah tersebut kemungkinan akan berlaku semula atau akan terus lenyap daripada diri seseorang. Misalnya rasa hebat dan gementar hati apabila mengingatkan keagungan Allah S.W.T.seperti yang digambarkan oleh Allah S.W.T di dalam surah al-Anfal,ayat 2
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah S.W.T.(dan sifat-sifatNya) gementarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah”
Rasa hebat dan gementar hati tersebut akan hilang apabila sifat diri seperti angkuh dan sombong telah menguasai diri seseorang. Apabila pengalaman rohaniyyah tersebut kekal di dalam hati sehingga sifat dan bakat hati tersebut menjadi darah dagingnya, maka keadaan ini dinamakan sebagai al-maqam. Sebagai contoh sifat zuhud, di peringkat awalnya ia merupakan al-hal bagi seorang yang shalih. Tetapi apabila sampai ke satu peringkat, situasi zuhud itu akan berubah menjadi tetap dan kekal di dalam hati sehingga dapat merasakan kemanisannya. Situasi zuhud di peringkat ini dinamakan sebagai al-maqam di dalam disiplin ilmu tasawuf.
Menurut pandangan Ibn `Ajibah , al-hal adalah gerak hati (harakat al-qalb) yang bersifat ketahanan bersabar dalam menghadapi kehendak dan ketentuan Allah S.W.T. Manakala al-maqam pula ialah diam hati (sukun al-qalb) dengan sifat ketenangan. Sebagai contoh zuhud, di peringkat permulaaan bagi seorang yang shalih adalah melakukan amalannya dengan bermujahadah meninggalkan keduniaan dan semua sebab yang membawa kepada dunia. Kemudian pada peringkat kedua ia mestilah tetap bersabar dalam keadaan serba kekurangan itu sehinggalah zuhud itu menjadi hal bagi dirinya. Di peringkat ketiga dan terakhir, zuhud itu akan tetap  didalam hatinya sehingga hati itu menjadi aman dan tenteram. Terasalah kemanisan zuhudnya dengan sifat ketenangan. Di peringkat terakhir itulah zuhud dinamakan sebagai al-maqam.
Seterusnya Ibn `Ajibah menjelaskan bahwa al-hal itu adalah lintasan atau bisikan hati yang baik, lawan kepada lintasan atau bisikan hati yang jahat. Menurut beliau, hati manusia yang beriman itu sentiasa mengalami dua jenis lintasan, yaitu lintasan yang baik (al-nuraniyyah) dan yang jahat (al-zulmaniyyah). Jika lintasan hati yang jahat (al-zulmaniyyah) itu lenyap maka yang ada di dalam hati ialah lintasan yang baik (al-nuraniyyah), keadaan inilah yang dinamakan sebagai al-hal atau al-warid  dalam ilmu tasawuf.
Al-hal merupakan kurniaan Allah S.W.T. yang bersifat al-mawahib, sedangkan al-maqam pula lebih bersifat al-makasib atau hasil dari daya usaha seorang yang saling dalam bermujahadah. Al-Suhrawardiy juga berpendapat demikian. Bagaimana pun beliau menyimpulkan bahwa kedua-duanya, al-hal dan al-maqam itu dapat dikatakan sebagai al-mawahib, tetapi dalam al-maqam lebih jelas al-makasib dan lebih tersembunyi al-mawahib. Manakala di dalam al-hal pula, tersembunyi al-makasib dan terserlah al-mawahib.  Oleh yang demikian kedua-dua al-hal dan al-maqam adalah sentiasa mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lain.
Macam-Macam Maqam
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya kitab al-luma’ fit tasawwuf. Di terangkan adanya tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam kitab-kitab lainya. Ketujuh maqam itu ialah: Maqam sabar, maqam tawakkal, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridlo (rela).
Maqam ke tujuh adalah  maqam puncak yakni pembebasan hati dari segala ikatan dunia yaitu menciptakan suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia. Ihsanuddin dalam kitab makrifat misalnya menyetir suatu syair yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia sebagai berikut: “Setiap apa yang dicipta Alloh, serta apa yang belum tercipta, tak berharga dalam hatiku, harta seperti sehelai rambut yang terlepas dari kepalaku”
Dalam kitab hikam diungkapkan suatu syair yang artinya sebagai berikut: “seseorang hamba merdeka selama berjiwa qona’ah, sebaliknya seorang yang merdeka jadi hamba (budak) bila berkeinginan. Maka berqona’alah dan jangan tamak, tak ada sesuatu yang aib selain banyak keinginan”
Dalam ajaran tasawuf dunia (apa yang selain tuhan) itu di ibaratkan wanita bahu laweyan, yang molek tapi siapa yang mengawini tentu segera binasa. Hal ini diungkapkan dalam syair Bahar Thawil yang artinya sebagai berikut; “Apakah kamu ingin mengawini si laila sedangkan kamu tahu bahwa setiap yang mengawini dia tentu binasa “
Menurut al- Ghozali setiap sufi yang ingin mendapatkan penghayatan makrifat pada tuhan sementara waktu menempuh jalan kepada tuhan harus sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena makrifat pada tuhan tidak bisa di madu dengan dunia. Fatwa ini didasari suatu hadist sewaktu emas belum di haramkan bagi pria, pernah suatu waktu nabi membuang cincin emas di tengah-tengah khotbah beliau. Sesudah turun dari mimbar menjawab pertanyaan hal itu di lakukan karena cincin itu menganggu konsentrasi ibadah khotbah beliau. Upaya pemutusan ikatan keduniaan ini di mulai dengan pengalaman :
1.      Maqam Taubat.
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan : “Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”. Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa. Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan taubatnya itu sendiri.
2.      Maqam wara’
Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat, yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala. Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.
3.      Maqam zuhud
Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Apabila bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia.  Maka seorang zahid tidak gembira dengan dunia yang ada di tanganya, dan juga tidak bersedih hati dengan hilangnya dunia dari tanganya. Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi. Misalnya Abu Sulaiman aal-Darani mengatakan : “Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di tanganya kok dalam hatinya menginginkan lima dirham”. Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan : “zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Alloh”. Ruwaim mengatakan: “zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”
4. Maqam Fakir
Menurut syibli hakikat fakir itu ; “Adalah orang yang tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Alloh” Menurut Abu baker al-Mishri  “fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”, Jadi pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah mulai menjahui keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting dalam hidupnya. Di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu mengosngkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia. Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan juga tidak menginginkan apa-apa”.
5. Maqam Sabar
Dalam islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam al-Qur’an dinyatakan sabar merupakan laku yang terpuji dan perintah suci agama. Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap sabar di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin, seperti di jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya “hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar”. Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Sebagai satu maqam dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep yang diungkapkan dalam berbagai pengertian. Ibnu ‘Atha misalnya mengatakan : Sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela. Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah fana’ di dalam balai bencana tanpa ada keluhan: Bergulat dengan kesengsaraan tanpa ada keluhan. Jadi dengan maqam sabar para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hiduonya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah laku maqam sabar di dalam tasawuf.
6. Maqam Tawakkal
Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar dilakukanya. Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif kerja keras. Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran tasawuf tawakkal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah mutlak. Yakni tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang  harus sepenuhnya mengantungkan diri sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Alloh. Permulaan dari maqam tawakkal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Alloh yang maha kuasa laksana mayat di depan oaring yang memandikan, di bolak-balikan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiar. Tawakkal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Alloh sepenuhnya. Dalam ordo-ordo tarekat, tawakkal ini diterapkan terhadap guru tarekat yang membuat mereka juga seperti kutipan tersebut di atas. Yakni para murid harus melepaskan kemauan pribadinya, dan berserah diri pada syaih (gurunya) disuruh apa saja harus tunduk.
7. Maqam Ridlo
Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.
Mengenai maqam ridlo ini dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan Misalnya Ruwaim mengatakan : Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya. Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah : “Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”. Abu Bakar Thahir mengatakan : “Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.Al-Nuri mengatakan : ”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”. Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo: ”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.
Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.
Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya.
Macam-Macam Hal
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
  1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
  1. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
  1. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
  1. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
  1. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.  Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban. Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
  1. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
  1. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
  1. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .

KESIMPULAN
Perbedaan pendapat para sufi mengenai pengertian ahwal secara luas bahwa ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Maqam yaitu Maqam Taubat, Maqam Wara’, Maqam Zuhud, Maqam Fakir, Maqam Taqakal, Maqam Ridho begitu pula Ahwal yang diantaranya : Muraqabah, Khauf, Raja’, Shauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing
Referensi
Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.  Jakarta: Erlangga.
Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf.  Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Shihab, Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
Sufistik dan Pengaruhnya Hingga Kini. Bandung: Mizan.
Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar