Makalah
Konsep Maqâm dan Hâl
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Drs. Suharjiyanto M.Ag
Disusun
oleh :
DWI
SATRIANI BEGI MAWINDI
I.000.113.032
PROGRAM
STUDI SYARI’AH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
PENDAHULUAN
Maqamat
dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih
khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang
mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada
sedekat-dekatnya dengan Tuhan.
Ahwal
merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya.
Pengertian
maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan
seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian
(ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati
(mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa
raga semata-mata kepada Allah.
Ibn
Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga
tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir)
dan yang ketiga adalah musyahadah.
Sedangkan
menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’,
zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha.[4]
Al
Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat –
sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha.
At
Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir –
sabar – ridha – tawakal – ma’rifat.
Al
Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf”
menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya
– tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika
kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada
pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini
adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa
iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.
PEMBAHASAN
Pengertian
Maqam dan Hal
Ahwal
adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam prespektif tasawuf
sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual.
Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kalbu merupakn efek dari
peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa
seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan,
ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya dalam
kalbu hamba tersebut.
Al-hal
seperti yang difahami oleh ahli tasawuf ialah pengalaman rohaniyyah yang
berlaku di dalam hati tanpa disengaja atau dibuat-buat, dicari-cari dan
diusahakan. Pengalaman rohaniyyah tersebut akan hilang apabila berbagai sifat
diri zahir dengan nyata. Keadaan pengalaman rohaniyyah tersebut kemungkinan
akan berlaku semula atau akan terus lenyap daripada diri seseorang. Misalnya
rasa hebat dan gementar hati apabila mengingatkan keagungan Allah S.W.T.seperti
yang digambarkan oleh Allah S.W.T di dalam surah al-Anfal,ayat 2
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu (sempurna imannya) ialah mereka yang apabila
disebut nama Allah S.W.T.(dan sifat-sifatNya) gementarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan
kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah”
Rasa
hebat dan gementar hati tersebut akan hilang apabila sifat diri seperti angkuh
dan sombong telah menguasai diri seseorang. Apabila pengalaman rohaniyyah
tersebut kekal di dalam hati sehingga sifat dan bakat hati tersebut menjadi
darah dagingnya, maka keadaan ini dinamakan sebagai al-maqam. Sebagai contoh
sifat zuhud, di peringkat awalnya ia merupakan al-hal bagi seorang yang shalih.
Tetapi apabila sampai ke satu peringkat, situasi zuhud itu akan berubah menjadi
tetap dan kekal di dalam hati sehingga dapat merasakan kemanisannya. Situasi
zuhud di peringkat ini dinamakan sebagai al-maqam di dalam disiplin ilmu
tasawuf.
Menurut
pandangan Ibn `Ajibah , al-hal adalah gerak hati (harakat al-qalb) yang
bersifat ketahanan bersabar dalam menghadapi kehendak dan ketentuan Allah
S.W.T. Manakala al-maqam pula ialah diam hati (sukun al-qalb) dengan sifat
ketenangan. Sebagai contoh zuhud, di peringkat permulaaan bagi seorang yang
shalih adalah melakukan amalannya dengan bermujahadah meninggalkan keduniaan
dan semua sebab yang membawa kepada dunia. Kemudian pada peringkat kedua ia
mestilah tetap bersabar dalam keadaan serba kekurangan itu sehinggalah zuhud
itu menjadi hal bagi dirinya. Di peringkat ketiga dan terakhir, zuhud itu akan
tetap didalam hatinya sehingga hati itu
menjadi aman dan tenteram. Terasalah kemanisan zuhudnya dengan sifat
ketenangan. Di peringkat terakhir itulah zuhud dinamakan sebagai al-maqam.
Seterusnya
Ibn `Ajibah menjelaskan bahwa al-hal itu adalah lintasan atau bisikan hati yang
baik, lawan kepada lintasan atau bisikan hati yang jahat. Menurut beliau, hati
manusia yang beriman itu sentiasa mengalami dua jenis lintasan, yaitu lintasan
yang baik (al-nuraniyyah) dan yang jahat (al-zulmaniyyah). Jika lintasan hati
yang jahat (al-zulmaniyyah) itu lenyap maka yang ada di dalam hati ialah
lintasan yang baik (al-nuraniyyah), keadaan inilah yang dinamakan sebagai
al-hal atau al-warid dalam ilmu tasawuf.
Al-hal
merupakan kurniaan Allah S.W.T. yang bersifat al-mawahib, sedangkan al-maqam
pula lebih bersifat al-makasib atau hasil dari daya usaha seorang yang saling
dalam bermujahadah. Al-Suhrawardiy juga berpendapat demikian. Bagaimana pun
beliau menyimpulkan bahwa kedua-duanya, al-hal dan al-maqam itu dapat dikatakan
sebagai al-mawahib, tetapi dalam al-maqam lebih jelas al-makasib dan lebih
tersembunyi al-mawahib. Manakala di dalam al-hal pula, tersembunyi al-makasib
dan terserlah al-mawahib. Oleh yang
demikian kedua-dua al-hal dan al-maqam adalah sentiasa mempunyai hubungan yang
erat antara satu dengan yang lain.
Macam-Macam
Maqam
Abu
Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya kitab al-luma’ fit tasawwuf. Di terangkan
adanya tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam
kitab-kitab lainya. Ketujuh maqam itu ialah: Maqam sabar, maqam tawakkal, maqam
zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridlo (rela).
Maqam
ke tujuh adalah maqam puncak yakni
pembebasan hati dari segala ikatan dunia yaitu menciptakan suasana hati yang
netral dan memandang sepele terhadap dunia. Ihsanuddin dalam kitab makrifat
misalnya menyetir suatu syair yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia
sebagai berikut: “Setiap apa yang dicipta Alloh, serta apa yang belum tercipta,
tak berharga dalam hatiku, harta seperti sehelai rambut yang terlepas dari
kepalaku”
Dalam
kitab hikam diungkapkan suatu syair yang artinya sebagai berikut: “seseorang
hamba merdeka selama berjiwa qona’ah, sebaliknya seorang yang merdeka jadi
hamba (budak) bila berkeinginan. Maka berqona’alah dan jangan tamak, tak ada
sesuatu yang aib selain banyak keinginan”
Dalam
ajaran tasawuf dunia (apa yang selain tuhan) itu di ibaratkan wanita bahu
laweyan, yang molek tapi siapa yang mengawini tentu segera binasa. Hal ini
diungkapkan dalam syair Bahar Thawil yang artinya sebagai berikut; “Apakah kamu
ingin mengawini si laila sedangkan kamu tahu bahwa setiap yang mengawini dia
tentu binasa “
Menurut
al- Ghozali setiap sufi yang ingin mendapatkan penghayatan makrifat pada tuhan
sementara waktu menempuh jalan kepada tuhan harus sanggup membelakangi dunia
secara keseluruhan, karena makrifat pada tuhan tidak bisa di madu dengan dunia.
Fatwa ini didasari suatu hadist sewaktu emas belum di haramkan bagi pria,
pernah suatu waktu nabi membuang cincin emas di tengah-tengah khotbah beliau.
Sesudah turun dari mimbar menjawab pertanyaan hal itu di lakukan karena cincin
itu menganggu konsentrasi ibadah khotbah beliau. Upaya pemutusan ikatan
keduniaan ini di mulai dengan pengalaman :
1. Maqam Taubat.
Dalam
ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam
pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan
maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam
dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan : “Taubatnya
orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari
ghoflah (lalai mengingat tuhan)”. Bagi golongan khowas atau orang yang telah
sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah
itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan
demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama
(ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan
sepanjang masa. Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka
kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam
yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan
taubatnya itu sendiri.
2. Maqam wara’
Wara’
adalah meninggalkan hal yang syubhat, yakni menjauhi atau meninggalkan segala
hal yang belum jelas haram dan halalnya. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah
kedua sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak)
juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Wara’
itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak
terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk
dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala. Wara’ adalah meninggalkan setiap yang
berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa
yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.
3. Maqam zuhud
Adapun
zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Zuhud pada sesuatu
apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Apabila bila dia
menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan
menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Maka seorang zahid tidak gembira dengan dunia
yang ada di tanganya, dan juga tidak bersedih hati dengan hilangnya dunia dari
tanganya. Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan
menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf
diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan
zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi. Misalnya Abu
Sulaiman aal-Darani mengatakan : “Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang
zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di
tanganya kok dalam hatinya menginginkan lima dirham”. Pada tempat lain Abu
Sulaiman al-Darani mengatakan : “zuhud adalah meninggalkan segala yang
melalaikan hati dari Alloh”. Ruwaim mengatakan: “zuhud adalah memandang kecil
arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”
4.
Maqam Fakir
Menurut
syibli hakikat fakir itu ; “Adalah orang yang tidak membutuhkan sesuatu apapun
selain Alloh” Menurut Abu baker al-Mishri “fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki
sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”, Jadi pada dasarnya wara’
berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal,
kemudian dengan zuhud telah mulai menjahui keinginan terhadap yang halal-halal
dan hanya yang amat penting dalam hidupnya. Di dalam maqam fakir telah sampai
puncaknya, yaitu mengosngkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja
selain tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya penyucian hati secara
keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran untuk membelakangi
atau membuang dunia. Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang
dunia itu sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan
juga tidak menginginkan apa-apa”.
5.
Maqam Sabar
Dalam
islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia.
Dalam al-Qur’an dinyatakan sabar merupakan laku yang terpuji dan perintah suci
agama. Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan,
susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap sabar
di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin, seperti di
jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya “hai orang-orang yang
beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh
bersama orang-orang yang sabar”. Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam
sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir
orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam
penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar.
Sebagai satu maqam dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep
yang diungkapkan dalam berbagai pengertian. Ibnu ‘Atha misalnya mengatakan : Sabar
adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela. Dan dikatakan pula
bahwa sabar adalah fana’ di dalam balai bencana tanpa ada keluhan: Bergulat
dengan kesengsaraan tanpa ada keluhan. Jadi dengan maqam sabar para sufi memang
telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan derita
dalam hiduonya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah laku maqam sabar
di dalam tasawuf.
6.
Maqam Tawakkal
Dalam
syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala daya upaya dan
ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau digantungkan pada rahmat
pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar dilakukanya.
Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif kerja keras. Tasawuf menjadikann
maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan
menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran
tasawuf tawakkal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah
mutlak. Yakni tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang harus sepenuhnya mengantungkan diri
sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Alloh. Permulaan dari
maqam tawakkal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Alloh yang maha
kuasa laksana mayat di depan oaring yang memandikan, di bolak-balikan
sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiar. Tawakkal itu berserah diri
(mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Alloh sepenuhnya. Dalam
ordo-ordo tarekat, tawakkal ini diterapkan terhadap guru tarekat yang membuat
mereka juga seperti kutipan tersebut di atas. Yakni para murid harus melepaskan
kemauan pribadinya, dan berserah diri pada syaih (gurunya) disuruh apa saja
harus tunduk.
7.
Maqam Ridlo
Setelah
mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada
pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan segala keinginan terhadap apa saja
selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam.
Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan,
kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni
sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.
Mengenai
maqam ridlo ini dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai
dengan Misalnya Ruwaim mengatakan : Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan
neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya. Ibnu
Khafif mengatakan tentang ridlo adalah : “Kerelaan hati menerima ketentuan
tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”. Abu
Bakar Thahir mengatakan : “Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya,
sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam
hatinya”.Al-Nuri mengatakan : ”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan
ketentuan Tuhan”. Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo: ”Jika dia telah telah
gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.
Dengan
mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih
banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini
erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para
sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan
adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka
langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak
langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.
Hanya
saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan
pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak
eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk
membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur;
menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung
dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada
Tuhanya.
Metode
mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal
al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan
jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan
terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din
juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah
mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan
Tuhanya.
Macam-Macam
Hal
Sebagaimana
halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep
pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi.
Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah,
tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
- Muraqabah
Secara
etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara
terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian
adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri
diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas
diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinya.
- Khauf
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak
senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam
setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah
yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
- Raja’
Raja’
bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena
menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu
akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat
yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap
optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi
hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk
melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
- Syauq
Syauq
bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf
adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari
kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah
maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam,
maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan
menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu
dan bersama Allah.
- Mahabbah
Cinta
(mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat
yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai
suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan
kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi
yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan
akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung pada keindahan atau kecantikan lain
yang mungkin terlihat olehnya atau mengalihkan pandangannya dari keindahan
Allah. 3) ia mesti lebih mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan
tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama
Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi kepada Allah dan tidak menentang
perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya selalu mengharapkan keridhaan
Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar
cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban. Tokoh
utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta
kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam
kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
- Tuma’ninah
Secara
bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj
tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan
bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
- Musyahadah
Dalam
perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam
dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan
dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari
tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang
kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati).
Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak
ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah
segala rahasia yang ada pada Allah.
- Yaqin
Al-yaqin
berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta
serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan
secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah
tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari
seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal
.
KESIMPULAN
Perbedaan
pendapat para sufi mengenai pengertian ahwal secara luas bahwa ahwal merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’
dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun
urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Perlu
dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah)
Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan
perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak.
Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam
macamnya, terdapat beberapa macam Maqam yaitu Maqam Taubat, Maqam Wara’, Maqam
Zuhud, Maqam Fakir, Maqam Taqakal, Maqam Ridho begitu pula Ahwal yang
diantaranya : Muraqabah, Khauf, Raja’, Shauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah,
Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing
Referensi
Kartanegara,
Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.
Jakarta: Erlangga.
Haeri,
Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf.
Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Shihab,
Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
Sufistik
dan Pengaruhnya Hingga Kini. Bandung: Mizan.
Syukur,
Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar