MAQOMAT DAN AHWAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ahwal
adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam prespektif tasawuf
sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi
spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakn efek
dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa
seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah,
riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya dalam kalbu
hamba tersebut
Secara
lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam
hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa
senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau
suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), dan
seytiap maqam adalah upaya (makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri,
sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi,
al-Hujwiri berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam
hati manusia, tanpa ia mampu menolaknya
bila datang, atau meraihnya bila pergi, dengan ikhtiarnya sendiri . Maka,
lanjut al-Hujwiri, sementara istilah maqam menunjuk kepada jalan sang pencari,
istilah hala menunjuk kepada nikmat dan kemurahan yang tuhan anugrahkan kepada
hati hambanya, dan yang tidak berkaitan dengan kezuhudan sang hamba. Olek
karenanya, maqam termasuk dalam kategori tindakan, sedang hal termasuk dalam
kategori anugerah.
Senada
dengan kedua sufi diatas, Ibnu ‘Arabi (w.638H./1240 M.) Menyebut hal (keadaan)
adalah setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada
waktu yang lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri),
ketidakhadiran dan ridha; eksistensinnya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
menjadi sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Sarraj,
sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi diatas, memandang bahwa
ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam didalam kalbu dengan sebab dzikir yang
tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khafiy),
sebagaimana Hadist nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik dzikir adalh yang
lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Menurut al-Saraj, al-Junaid juga melihat
bahwa hal bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal. Dalam pandangan al-Sarraj,
hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah da mujahadah sebagaimana maqamat,
melainkan anugerah Allah.
Al-
Ghazali kelihatannya juga memilimki pandangan yang mirip dengan para sufi
pendahulunnya diatas. Ia menyatakan, apabila seseorang telah tetap dan mantap
dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu, dan itulah hal.
Hal nampak cepat berubah. Ia mencontohkan tentang warna kuning yang dapat
dibagi dua bagian. Warna kuning yang tetap, seperti warna kuning yang ada pada
emas dan warna kuning yang cepat berubah yakni warna kuning yang ada pada sakit
kuning. Begitu [pula perasa’an, kondisi dan sifat hati. Kadangkala mempunyai
sifat tetap dan mempunyai sifat berubah. Kondisi, sifat dan perasaan hati yang
tetap di sebut maqam dan yang mempunyai sifat berubah dinamakan hal.
Abdullah
ibn ‘Alaawy al-Haddad (w.1720 M.) mempunyai pandangan yang berbeda dengan
pandanagan para sufi diatas. Menurut al-Haddad, ahwal adalah suatu kondisi
baatin yang dialami seorang sufi dalam keadaan belum mantap, kemudian ketika
kondisi batin itu telah mantap maka disebutlah maqam. Ahwal, dalam pandangan
al-Haddad dapat diperoleh seseorang karewna pengaruh dari ilmu, sebab ilmu
dapat membuahkan hal dan hal menghasilkan maqam.
Mayoritas
kaum sufi membedakan antara maqam dan hal secara literal. Hal disebut demikian
karena berubah-ubahnya (li-tahawwulihi), sedang maqam dinamakan demikian karena
keadannya tetap dan permanen (li tsubutihi wa istiqrarihi). Dengan demikian
maqam adalah tetap sedang hal senantiasa berubah.
Al-Sarraj
dan kebanyakan kaum sufi beberapa sudah
disebut diatas sepakat bahwa hal merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam
adalah upaya (makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam
diperoleh melalui upaya perjuangan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, maqam
berarti menunjuk kepada sebuah kerja aktif sedang seseorang yang menerima hal
adalah pasif dalam keadaannya. Namun ada yang mengatakan, perbedaan ini hanya
pada tatanan teoritis belaka dan tidak mempengaruhi pada aspek praktinnya.
BAB
II
KONSEPSI
TEORI
2.1. Definisi Ahwal
Dalam
pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa
mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal”
. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.
Sekalipun
sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi
menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara
“maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun
kelangsungannya. “Ahwal” sering di
peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering
di sebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun
ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka
mengatakan bahwa “ahwal” di alami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
di peroleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya
pada “maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-0kilatan ilahi (Divine
Flashes), yang biasa di sebut “lama’at”.
Selain
soal cara memperoleh dan sifat keberlangsungannya, saya juga merasa penting
untuk menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya
menuju tuhan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan
susunannya.
Demikian
jika kalau kita baca naskah-naskah sufi ada yang mengatakan bahwa ridha
misalnya sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang
mengganggap sebagai “akhwal”, seperti yang diyakini misalnya, oleh Abu Utsman
al-Hiri. Selain pelangsungan dalam “ahwal” ada yang mengatakan bahwa “beberapa
ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap maka menurut seorang
guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman
al-Hiri justru mengatakan, “Jika hal tidak abadai dan tidak terdelegasikan,
maka iti hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya.
Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Bagi saya
perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman
subyektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak ubahnya
seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki
persepsi dan diskripsi yang berbeda tentang kota itu. Pebedaan-perbedaan itu
sama sekali tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan
menunjukkan ketidakobjektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama
bahwa kita tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para
turis hanya karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota
rombongan tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman
spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah
objektif dan real.
BAB
III
STUDI
KASUS
Jika
dirunut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal Sesungguhnya telah ada
pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep
penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang
iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr),
keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan
pandangan ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal)
adalah Dzunun al-Mishri (w. 796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati
(w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan
tentang ahwal. Setelah mengkaji dan membahas. Selanjutnya terdapat beberapa
macam-macam ahwal. Beberapa di antaranya dapat di uraikan sebagai berikut:
3.1 Macam-Macam Ahwal
3.1.1.
Muraqabah
Secara
literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara
terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya.
Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh
perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut
al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri
juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini
setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa
yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap
teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati,
menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya
dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat
perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah
menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya.
Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan al-Darani yang
menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa yang ada di dalam
hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah berikan kedalamnya.
Menuru
al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi atas tiga tingakatan.
Tingkatan
Pertama
Adalah
tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali
al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia
hati karana Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin.
Tingkatan
Kedua
Dalam
muraqabah di tunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian
adalah yang senntiasa mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada
selain yang haq dan senantiasa mengikuti nabi Muhammad SAW. Dalam perbuatan,
akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memilki kesadaran penuh bahwa sebaik
pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak nsedikitpun terbesit adannya
pengawasan yang lain , dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
Tingkatan
Ketiga
Dari
ahli muraqabah adalah hal-al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang
senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam
muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang
mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada
selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti
firman-Nya,
“Sesungguhnya
pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia
melindungi orang-orang yang saleh”. (QS.
Al-A’raf:196).
3.1.2.
Qurb
Secara
literal, qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi,
qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym
ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab, “menghilangkan setiap hal yang
merintangi dirimu untuk bersama-Nya.
Dalam
pandangan al-sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan
kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatanya,
dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara
mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri.
Kedekatan allah kepada hambanya banyak disebut dalam firmanNya seperti:
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”. (QS.Al-Baqarah:186)
Menurut
Al-Sarraj Qurb ada tiga tingkatan yaitu:
Tingkatan
pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekaat kepada Allah adalah
orang-orang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena
mereka memiliki pengetahuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan
kekuasaan Allah kepada mereka.
Tingkatan
kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingakat pertama.
Artinnya dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan
dekat kepada Allah.
Tingkatan
ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir (hal al-Kubara wa ahl
al-Nihayah). Kondisi qurb mereka seperti yang dicewritakan oleh Husyan al-Nuri.
Ia menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan
yang lain. Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang
sahabat. Dan kedekatan sepasang sahabat boleh jadi itu artinnya semakin jauhnya
hamaba dari Allah.
3.1.3.
Mahabbah
Mahabah
secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa pengertian
sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata hibbah,
yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan
sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam
prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para
sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung
kepada tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta,
menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali
al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya
dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.
Mahabbah
ini, disebut Allah dalam beberapa ayatnya:
(QS.
alHai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Ma’idah:54)
(QKatakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Qs. al-Ali’Imran:31)
(Qs.Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa
(pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Qs. al-Baqarah:165)
Mahabbbah
mempunyai tiga tingkatan
Tingkatan
pertama ini pada intinnya mengandung 3 hal yakni
Mengerahkan
ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya
Menyerahkan
diri kepada sang kekasih secara total
Mengosongkan
hati dari segala sesuatu yang dikasihi.
Tingkatan
kedua
Adalah
pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang
yang jujur kepada Allah dan orang yang
telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang tuhan.
Tingkatan
ketiga
Adalah
cintannya orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang
mengenal Allah dengan mata hatinnya (arifin).
3.1.4.
Khawf
Menurut
al-Qusyairi takut kepada Allah berarti takut kepada hokum-Nya. “Maka takutlah
Kepada-Ku jika kalian orang-orang yang beriman.”
Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang
beriman. (QS. Ali-Imran : 175).
Khawf
atau takut, adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang,
sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai
sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa mendatang.
Al-Ghozali
memandang khawf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan
atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa mendatang. Abu Hafs
menerangkan bahwa takut adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum
manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya. Takut adalah pelita hati.
Dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang. Abu Umar Al Dimasyqi
menegaskan bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri
melebihi rasa takutnya kepada musuh. Abu Al Qasim Al Hakim memandang orang yang
takut kepada sesuatu akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah
akan lari kepada-Nya. Ahmad Al Nuri menegaskan seseorang yang takut adalah yang
lari dari Tuhannya kepada Tuhannya. Syah Al kirmani berpendapat tanda rasa takut adalah sedih yang
terus-menerus dan menurut sufi lain, tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu
di pintu gerbang keghaiban.
Ibnu
Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang
lari menuju Allah. Untuk memunculkan rasa beralah seseorang harus mengingat
dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak
mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan
nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan
perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam
pandangan Al Sarraj, Khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah
(cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb
(kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang
dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah
rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah
kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah.Khawf itu menurut
Al Sarraj dibagi menjadi tiga tingkatan :
Takutnya
orang awam.
Takutnya
orang-orang pertengahan.
Takutnya
kaum Khushus (khusus)
Khawf
berkaitan dengan raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan
merasa ketakutan yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya,
takut berpisah, dijauhi oleh-Nya, sehingga terputus dari rahmat-Nya dan hilang
rasa nikmat bersama-Nya. Namun pada saat bersamaan sang hamba juga merasakan
raja’, harapan yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia
Allah.
3.1.5.
Raja’
Raja’
atau harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga
berkaitan dengan apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh
harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat
kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada
kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha
Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu
Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa
bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan Khawf dan Raja’
namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit
dan aku takut terbenamnya disaat terbenam.”, ucapan itu menurut Al-Ghozali
bukanlah Khawf dan Raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang
mengatakan,” Aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya.”, itulah
ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.
Abu
Ali Al-Rudzbari memandang Khawf dan
Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak
ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu
sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan
bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan
hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,
”
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab : 21).
Firmannya
yang lain
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan merekasiapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57)
Menurut
Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
raja’
bersama Allah (fi Allah)
raja’
di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
raja’
di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).
3.1.6.
Syawq
Secara
literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut
Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud
bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut
Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa
dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu,
Dzunun memandang syawq sebagai derajat
atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syawq ini mati
rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak
berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan
dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan
gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu.
Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di
setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya
kepada Allah, itulah Syawq (rindu).
Menurut
Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.
Pertama
adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang
pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
Kedua,
mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan
bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
Ketiga,
mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa
hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut
nama-Nya saja.
3.1.7.
‘Uns
Dalam
tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns
adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat.
Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta
terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada
khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata
dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.
Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika
sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala
sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang
yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
Pertama,
mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa
intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
Kedua,
Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun
selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
Ketiga
adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan
keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat
‘uns itu sendiri.
3.1.8.
Thuma ‘Ninah
Secara
literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada perasaan khawatir atau
was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah menurut
Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi.
Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam
ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat). Beberapa firman
Allah tentang Thuma’ninah, diantaranya:
”Ya”
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”(QS. Al-Ra’du:28)
“Wahai
jiwa yang tenang”(QS. Al-Fajr:27)
Thuma’ninah
terbagi menjadi 3 tingkatan.
Pertama
adalah kaum awam. Mereka merasa tenang jika menyebut-Nya.
Kedua,
Kelompok khushus(khusus). Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar
dengan , musibah-Nya, bertakwa, ikhlas, dan damai.
Ketiga,
kelompok istimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia
yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa
agung dan segan yang hinggap dihati mereka. Menurut mereka, Allah tidak
memiliki akhir yang mungkin dicapai.
3.1.9.
Musyahadah
Dalam
perpektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti
bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat
Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu
dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk
melihat Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku,
agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa
Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut
Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran
yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh
firman Allah:
“Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan
hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.
Hal
Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni
menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi
atas tiga tingkatan.
Tingkat
pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
Tingkat
kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini
Musyahadah berarti bahwa ciptaan aa pada genggaman Yang Haq dan pada
kerajaan-Nya.
Tingkat
ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan
Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh.
3.1.10.
Yaqin
Perpaduan
antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu.
Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung,
itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan
segenap jiwanya.
Keyakinan
menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus
bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain
seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan
ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.
”Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al Hijr : 75).
”Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin.”
(QS. Al-Dzariyat :20)
Lebih lanjut menurut Al sarraj seluruh ayat-ayat
Allah yang berbicara mengenai yaqin sesungguhnya terdiri atas tiga hal : Ilm
Al-yaqin, ‘ain Al yaqin, dan haq Al yaqin. Al Junaid berpandangan bahwa
keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak
berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah
bersabda,”Sekalian makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka
ketika mati.” Maksudnya sesuai dengan keyakinan mereka ketika mati
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Meski
para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu
dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah)
Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan
perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak.
Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam
macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Qurb,
Mahabbah, Khawf, Raja’, Syawq, ‘Uns, Thuma ‘Ninah, Musyahadah, Yaqin yang
dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing
REFERENSI
Kartanegara,
Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.
Jakarta: Erlangga.
Bahri,
Media Zainul. 2005. Menembus Tirai Kesendiriannya. Jakarta: Prenada.
Haeri,
Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf.
Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Shihab,
Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
Sufistik
dan Pengaruhnya Hingga Kini. Bandung: Mizan.
Syukur,
Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar